Bab 57

85 35 2
                                    

Ina masih saja kecewa dengan kedua orang tuanya. Sebenarnya, mereka menganggap Ina ini sebagai apa?

Beban? Sepertinya begitu jika dilihat dari sudut pandang sekarang.

Kalo aja lo bukan adik gue, udah gue tendang lo Rey. Batin Ina menatap adiknya kecewa.

Di sisi lain, Zidan masih diposisinya. Mengintip di pohon yang tak jauh dari rumah Ina. Pohon itu cukup besar sehingga badan Zidan tidak terlihat.

"Kak?" panggil seseorang membuat Zidan menoleh.

"Ngapain ngintip ke rumah aku?" lanjutnya.

"Ini, gue lagi nyari rumahnya Reyna," alibi Zidan dengan suara yang tenang.

"Ini fotonya," lanjut Zidan menunjukkan ponselnya.

"Ouh, ini sih Kakak aku kak, ayo ikut Gibran," jawab Gibran senang.

Gibran sedari tadi main di rumah teman sekelasnya yang berada di kampung sebelah. Saat perjalanan menuju pulang, Gibran melihat Zidan berdiri seperti orang tengah mengintip di belakang pohon.

Ternyata Zidan mencari rumah Reyna, kakaknya.

Gibran pun menghantarkan Zidan ke rumah.

"Kak Reyna, ini temen Kakak?" tanya Gibran usai sampai di rumahnya.

Tamara menutup matanya, hancur sudah rencana yang dia buat.

Sedangkan Ina, gadis itu terlihat terkejut dan baru ingat jika Zidan datang bersamanya.

"Loh Zidan? Ngapain kesini?" jawab Reyna berdiri dari duduknya.

"Gue pengen lindungin lo dari mereka. Setelah lo pergi, gue lihat mereka ngikutin lo, yaudah gue ikutin juga. Sekalin biar lihat rumah lo kan," jelas Zidan tenang.

Ina dan Tamara menghela nafas, posisi mereka masih aman karena Zidan pandai sekali dalam berbohong.

Berbohong demi kebaikan tidak salah bukan?

"Makasih Zidan, ternyata lo baik banget," ujar Reyna termakan alasan Zidan.

"Yaudah Kakak semuanya, Gibran masuk dulu yah," pamit Gibran lalu masuk ke dalam rumah.

"Gila yah lo, semua orang kena gitu sama bisa lo," cibir Tamara tersenyum mengejek.

Reyna melangkah mendekati Tamara. Sepertinya kesabaran Reyna sudah habis untuk menghadapi sahabat kakaknya itu.

"Udah, gak usah ribut," lerai Ina.

"Kalo gak pengen gue ribut, jaga tuh mulut sahabat lo itu," jawab Reyna memandang Tamara sengit.

Zidan dapat melihat perbedaan kakak beradik di depannya. Sangat berbeda sifat.

Keduanya sama-sama pintar dalam bidang akademik, namun Reyna begitu bodoh dalam bidang kehidupan.

Dan jelas, Ina lebih cantik daripada Reyna.

"Santai," kata Tamara tenang.

Tamara duduk dengan santai tanpa takut dengan Reyna.

Justeru yang Tamara takutkan adalah tatapan Zidan kepada Ina yang semakin kentara.

Harus segera diluruskan nih perasaan Zidan. Batin Tamara menatap Zidan yang masih memandang Ina.

"Gue buatin minum dulu yah," ucap Ina lalu masuk ke dalam.

Ina memutarkan badannya yang otomatis rambut lurus berwarna coklat yang ia gerai melayang sempurna. Membuat Zidan semakin terpana.

"Ekhem," dehem Tamara, Reyna menoleh. Sebenarnya deheman itu ia tujukan untuk Zidan, bukan Reyna.

"Rey, bisa ngomong sebentar?" tanya Zidan kepada Reyna.

Reyna mengerutkan dahinya, mau bicara apa sebenarnya Zidan?

Reyna tidak pernah memanggil Zidan dengan panggilan Kak, meskipun umur Zidan setara dengan umur kakaknya.

"Boleh, ayo," jawab Reyna lalu melangkah pergi.

Zidan tidak langsung mengikuti Reyna. Cowok itu mengacungkan jempolnya kepada Tamara.

Tamara yakin, Zidan mempunyai rencana tersendiri.













Hallo semuanya<
Mau bilang, kalo kamu nikmati suatu karya, maka kamu hanya perlu menghargainya.

Terima kasih, Anya.

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang