Bab 4

312 76 2
                                    

Panik, Ina langsung menuju dapur dan mematikan gas. Terlihat sebuah panci ketika dibuka sudah tidak ada airnya.

"Astafirullah, hampir saja." Ina bersyukur masih diberi keselamatan.

Meninggalkan dapur, Ina menghampiri Reina.

"Dek kamu itu gimana sih, masak air malah lupa. Coba lihat kalau tadi meledak terus kebarakan gimana? Gak becus banget jadi cewek," ujar Ina emosi.

"Yaudah sih Kak gak usah marah-marah. Gue lupa, namanya manusia pasti ada lupanya," jawab Reina kesal.

"Gue tahu setelah ini lo pasti bilang ke Ibu dan Bapak kan? Terus mereka bakal muji-muji lo karena udah nyelametin tadi dan aku bakal kena marah, gitu terus siklusnya." Lanjut Reina menatap Ina sengit.

"Kakak gak tahu yah Dek, kenapa kamu kayaknya gak suka banget sama Kakak," ujar Ina melemah.

"Gak usah drama, lo itu emang menyebalkan. Benci gue sama lo," ucap Reina begitu mengena di hati Ina.

Reina pergi dengan membanting pintu cukup keras. Dia memang sangat egois dan ingin menang sendiri, tidak sadar bahwa jelas-jelas dirinya bersalah.

Sementara Gibran, menenangkan Ina dan memberinya air minum. Memang hanya Gibran yang memiliki sifat pengertian dan dewasa.

"Kak Ina, minum dulu. Gak usah di ambil hati ucapan Kak Reina tadi, biasa dia sedang kumat," ucap Gibran lalu memberi air putih itu.

Ina duduk, dan minum air pemberian Gibran. Menghela nafas, Ina tersenyum.

"Makasih yah Dek, kamu baik sama Kakak," jawab Ina mengelus kepala Adiknya.

"Iya, Kak Ina kan Kaka aku, jadi udah jadi kewajiban," ujar Gibran.

***

Malam datang, keluarga Taraquen makan malam dengan situasi tidak enak. Semuanya diam, apalagi Reina.

Reina sama sekali tidak bicara atau bersapa seperti biasanya. Menyadari itu, Ibu berkata, "Kalian lagi marahan? Kok pada diam aja,"

Ina memutuskan untuk tidak mengatakan peristiwa tadi kepada Ibu dan Bapak, "Nggak kok Bu, emang lagi capek ajah. Jadi males ngomong juga, hehehe,"

Ibu mengangguk, percaya jika semua anaknya baik-baik saja kemudian melanjutkan makannya.

Gibran menengok arah Reina dan Juga Ina, keduanya sama-sama seperti menyimpan beban.

"Sekolah kalian gimana?" tanya Bapak kepada semua anaknya.

"Baik kok Pak, Gibran kan pinter," jawab Gibran bangga.

"Sombong amat," timpal Reina, Gibran lega karena pancingannya berhasil. Setidaknya Reina tidak diam terus.

"Reina gimana sekolahnya?" tanya Bapak.

"Lumayan capek Pak, apalagi sebentar lagi aku ujian," tutur Reina.

"Semangat dong Kak," ujar Gibran.

"Mau lanjut dimana Dek?" tanya Ina berusaha menyeimbangkan.

Kayaknya aku di sekolah Kak Ina aja deh. Sekalian mata-nata kan.

"Di sekolah Kakak, biar berangkatnya barengan," jawab Reina.

"Ouh, bagus itu Kak," ujar Ibu.

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang