"Lah, Sur. Nggak dimakan?"Surya yang sedari tadi melamun mengingat kejadian lucu dalam kelasnya barusan tak sengaja menganggurkan makanan yang sudah ia pesan. Semangkuk nasi orak-arik yang terkenal dengan nama 'nasi gila', makanan favoritnya sejak kuliah.
Dihadapannya, ada seorang gadis bermata besar namun tajam. Dia adalah Devi, teman seperjuangannya untuk saat ini. Sama-sama mendapat beasiswa saat kuliah, hingga sama-sama diminta untuk menjadi Asisten Dosen di Fakultasnya dulu.
"Mau sampai kapan dilihat? Keburu dingin, Sur." Devi lagi-lagi menyadarkan Surya dari lamunannya.
"Sorry."
Pria itu kembali pada atmosfirnya dan melahap nasi yang sudah lama ia tidak beli. Rasanya masih sama, manis dari kecap, pedas dari sambal, gurih dari bumbu, dan asam dari acar dikombinasikan menjadi satu. Sebuah makanan yang mewah dilidah dengan harga yang sangat menolong kantong para mahasiswa diakhir bulan.
"Gimana kelas pertamanya? Nggak bikin mahasiswa nangis, kan?" Devi mencoba bergurau ditengah makan siang mereka.
Surya mengibaskan tangannya sebuah sangkalan. Baginya membuat seseorang menangis, apalagi seorang perempuan adalah larangan terbesar yang diajarkan oleh ibunya.
"Nggak mungkin, lah Dev." Ujar Surya. "Tapi tadi belum apa-apa, saya udah buat mahasiswa berantem."
Devi menampilkan ekspresi tidak percaya. Seorang Surya yang menurutnya kalem dan dapat dipercaya tidak membuat kegaduhan bisa juga menjadi biang kerok pertengkaran.
"Loh, kenapa bisa?"
Surya memberi kode dengan pergerakan tangannya untuk Devi agar menunggu pria itu selesai mengunyah makanan dalam rongga mulutnya. Bukannya menelan dengan lancar, Surya malah tersedak.
Uhuk.. Uhukk..
"Sur, Sur, makannya pelan-pelan."
Devi memberikan gelas berisikan teh hangat kepada Surya. Yang diperhatikan masih sibuk dengan rongga mulutnya dan rasa sesak ditenggorokannya. Ketika air masuk ke kerongkongannya, ada perasaan sedikit lega.
Setelah drama melamun dan tersedak, Surya mulai bercerita apa yang terjadi di kelasnya. Dari mulai mahasiswa yang selalu menggodanya ketika ia berbicara, hingga mahasiswi yang ia kenal dengan nama Lala adu mulut dengan teman sekelas. Mulai dari saat itu, Surya berjanji akan lebih menyeleksi kata-kata yang ia lontarkan.
"Oala, biasanya yang sering berantem seperti itu justru yang bakal jadian pada akhirnya." Duga Devi sebagai respon atas cerita Surya.
Surya mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan oleh Devi. "Biasanya."
Hanya butuh lima menit untuk seorang Surya menghabiskan 'nasi gila'-nya. Sedangkan Devi setengah porsi pun belum habis. Kebiasaan yang mereka sudah mengerti satu sama lain.
Bagi Surya, makanan tidak boleh didiamkan lama. Namun hari ini sebagai sebuah pengecualian karena ia melakukan kegiatan melamun terlebih dahulu. Bagi Devi makanan hadir untuk dinikmati, bukan hanya dimakan. Cita rasa yang bersatu harus dirasakan sedetail mungkin. Kita tidak tahu kedepannya apakah indra pengecap kita akan masih berfungsi atau tidak kedepannya.
Dari balik terpal, ada seorang pria yang sedang memperhatikan mereka. Ia tersenyum getir dengan spekulasi sendiri. Dia adalah Brian yang sedang membeli cilok.
Mata Devi dan Brian bertemu, membuat keduanya tertegun. Hubungan yang berjalan tak mulus membuat keduanya menyelesaikan secara tidak akur. Mungkin baik salah satu atau keduanya, masih menyimpan perasaan yang harus disampaikan. Namun karena gengsi yang berlebih, keduanya hanya diam.
Surya menangkap Devi yang sedang memandangi sesuatu sehingga menghentikan kegiatan makannya. Diikuti mata kemana gadis itu melihat. Ditangkaplah oleh indra penglihatannya seorang pria bermata setajam rubah memandangi Devi dengan seplastik cilok ditangannya.
Bagi Surya wajahnya tidak terlalu asing, namun ia sendiri juga bingung kapan mereka bertemu.
"Dev..ㅡ" Pria itu berusaha memanggil Devi namun dicegah oleh pria lain yang memakai kacamata.
"Bro! You can't do this. Just let her go like a flowing wind." Pria berkacamata itu menegur pria bermata tajam dan membawanya pergi.
Devi sudah mengangkat setengah tubuhnya dari atas kursi namun kembali ke kesadarannya. Tubuhnya seakan otomatis pergi mengejar pria itu. Namun egonya mengelak. Sudah tidak perlu ada yang dikejar saat ini. Devi sendiri yang sudah memutuskannya.
"Dev, ada apa? Kamu kenal orang itu?" Surya yang tak mengerti keadaan melukiskan ekspresi terheran-heran di wajahnya.
"Hah? Ya? Oh.." Kali ini Devi yang lupa bahwa ia sedang makan bersama Surya. "Gimana, ya jelasinnya?"
Surya khawatir dengan ekspresi Devi yang berubah menjadi gusar.
"Mau cerita? Kalau belum siap nggak apa-apa. Nanti saja." Usul Surya.
Devi memilih untuk memakan nasi yang belum ia habiskan. Sementara Surya menyadari ia baru saja mendapat penolakan.
Setelah itu keduanya larut dalam diam. Devi yang mencoba menyibukan diri dengan makan karena menghindar untuk ditanya, dan Surya yang sibuk menduga-duga siapa pria dengan sekantung cilok tadi. Dari penampilannya memang terlihat seperti mahasiswa.
"Dia mantanku, Sur. Brian namanya." Devi akhirnya memutuskan untuk memulai cerita.
Mata Surya membesar menandakan kaget. Namun pada akhirnya ia menangguk dan memahami kondisi Devi.
"Tampan, kok." Puji Surya seraya mengambil piring Devi. "Nggak dimakan, kan?"
Sang pemilik hanya bisa membeku melihat kelancangan Surya. Ia tidak marah namun keheran.
"Kamu ini, minta persetujuan tapi langsung nyelonong." Devi menopang dagunya dan memperhatikan Surya yang sedang makan.
Pria itu mengunyah dengan cepat. Devi tertawa melihatnya.
"Apa?" Tanya Surya yang sedari tadi diperhatikan.
"Jadi begini ya cara kamu menyembunyikan cemburu." Guyon Devi.
"Siapa? Cemburu? Saya? Nggak."
Keduanya tertawa dan bergidik geli. Sudah lewat fase mereka dimana menjadi seorang remaja yang pencemburu, melihat mantan langsung kembali teringat akan kenangannya, dan bersikap seolah tidak cemburu padahal sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasal Surya | DAY6
RomanceBaru pertama kali dalam seumur hidup Lala menyesal untuk menjadi seorang mahasiswa yang rajin. Pasalnya, Lala jatuh cinta kepada asisten dosen baru yang menggantikan Pak Jainudin selama sibuk menjadi dekan. Asisten dosen itu bernama Surya, dan meng...