Aku mengaduk pasta yang sudah tiga puluh menit yang lalu dihidangkan. Seakan mengaduk atau mencicipi sedikit demi sedikit merupakan kegiatan utama kedatanganku kemari. Aku tidak merasa bosan sedikitpun. Jantungku malah terasa berdegup kencang. Bukan karena pasta, tapi karena orang yang ada di hadapanku.
Perlahan aku mengangkat wajah agar dapat melihat dia. Ia hanya diam memandang pasta yang belum tersentuh sama sekali. Kedua tangannya meremas rambut, seakan bisa menghilangkan hal yang sedang ia pikirkan.
Pak Surya mengajakku untuk makan bersama begitu menyelesaikan kelas. Katanya ada hal yang ingin ia sampaikan. Aku yakin hal itu begitu penting karena Pak Surya menolak Davin yang ingin ikut bersama kami. Di perjalanan aku terus memutar otak, menerka apa yang akan Pak Surya sampaikan.
Berbanding terbalik dengan tujuannya mengajakku kesini, Pak Surya malah membungkam mulutnya. Ia hanya berbicara padaku ketika bertanya mau memesan makanan apa. Selanjutnya ia terdiam, sesekali memandangiku dengan tatapan aneh namun kembali menundukan pandangannya.
Selain rasa penasaran, aku dihantui rasa ketakutan. Pak Surya kali ini berbeda dengan Pak Surya yang aku kenal. Biasanya pria itu selalu menebarkan senyuman hangat dan pintar merebut hati lawan bicaranya. Jangankan mengabaikan, ketika ia sedang berbicara dengan seseorang namun ponselnya berbunyi, ia pasti langsung mematikannya dan tetap fokus memperhatikan lawan bicara.
Ingin sebenarnya kutanya, ada apa dengannya dan bagaimana suasana hatinya saat ini. Namun rasa ketakutanku lebih besar dari niat tersebut. Hal yang ku takuti seperti Pak Surya yang menganggap aku kelewatan batas untuk menanyakan hal yang terlalu pribadi. Padahal tujuanku hanyalah khawatir, bukan berarti berniat untuk mengusik hidupnya.
"Pak." Aku memberanikan diri memanggilnya.
Dia menatapku dengan senyum yang dipaksakan. "Iya, La."
"Ayo, dimakan dulu. Kasian dari tadi piringnya dipelototin."
Bagaimanapun caranya aku mencoba mencairkan suasana. Keberhasilan menyertaiku ketika Pak Surya terkekeh pelan dan mulai memakan pasta-nya. Aku ikut makan pasta bersamanya. Di sela-sela kegiatan kami, aku berusaha membuka Surya untuk berbicara.
"Jadi apa nih yang mau Pak Surya bahas?" Tanyaku setelah selesai mengunyah pasta carbonara.
Pak Surya menggigit bibirnya, aku bisa melihat keraguan dari sorot matanya. Ia masih belum mau membicarakan hal itu meski aku setengah mati menahan rasa penasaran. Ini tidak adil, kenapa hanya aku saja yang dibuat menunggu? Sayang, aku hanya bisa menggerutu dalam hati.
"Lala.." Ia memanggil namaku dengan penuh kelembutan. "Kalo saya bilang ini semua hanya alasan saya biar bisa makan bareng, Lala marah nggak?"
Pertanyaan macam apa itu?!
Aku butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja Pak Surya katakan. Otakku seperti menolak kerasionalan yang ada, dan menganggap hal ini hanyalah mimpi belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasal Surya | DAY6
RomanceBaru pertama kali dalam seumur hidup Lala menyesal untuk menjadi seorang mahasiswa yang rajin. Pasalnya, Lala jatuh cinta kepada asisten dosen baru yang menggantikan Pak Jainudin selama sibuk menjadi dekan. Asisten dosen itu bernama Surya, dan meng...