Bab 4 || Sesuatu

128 29 73
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Afiya turun dengan begitu tergesa-gesa menuruni setiap anak tangga. Suara teriakan sang Mama memanggilnya turun makan mulai terdengar. Namun, bukanya makan ia malah berhenti memasang kaos kaki dan sepatunya.

"Ma, aku makan di sekolah aja, ya," ucap Afiya tidak memandang mamanya yang sekarang mengerutkan kening.

"Tumben," gumam Nada—ibu Afiya.

Sebenarnya, Afiya ingin sekali makan. Namun, ia takut jika ditinggal oleh Dinara ke sekolah mengingat sahabatnya itu, tidak suka orang yang lama.

"Aku bawa aja, Ma ke sekolah." Afiya tidak tahan jika tidak memakan masakan mamanya yang menurutnya sangat enak. Jadi, lebih baik ia mengambil jalan ninja dengan membawa bekal ke sekolah.

Terlihat Nada yang mempersiapkan makanan bekal untuk putrinya itu. Ia mengambil nasi, lauk pauk, dan yang terpenting adalah tempe goreng makanan kesukaan Afiya. Entah kenapa putrinya sangat menyukai tempe padahal jarang sekali anak remaja menyukainya karena lebih memilih makanan mahal, sedangkan Afiya yang memandang mamanya kini langsung bertindak mengambil piring berisi tempe dan memindahkan semua isinya ke bekal tanpa tersisa.

"Afiya, gimana mau kurus? Kalau kamu makannya banyak." Ucapan itu, terlontar dari mulu Nada melihat putrinya begitu rakus.

"Kalau cuman dikit aku mana kenyang, Ma. Lagi pula nanti kalau aku sakit karena kelaparan Mama juga yang susah," sahut Afiya yang mengucapkan kalimat sama jika Nada protes karena dirinya makan terlalu banyak.

Nada lebih baik diam daripada harus berdebat dengan putrinya yang pintar sekali mencari alasan. Bukannya ia melarang Afiya makan. Ia hanya memperingati agar putrinya itu, tidak terlalu banyak makan melihat kondisi badan Afiya yang semakin berisi.

"Ya, udah, Ma. Aku berangkat dulu." Afiya mulai berdiri dan langsung menyalami tangan Nada. "Assalamualaikum, Ma." Ia mulai berlari keluar dengan bekal di tangannya.

"Wa'alaikumussalam." Nada berbalik dan matanya membulat sempurna saat melihat tas ransel berwarna hitam masih ada di sofa. "Fiya! Tas kamu!" teriaknya.

Terlihat Afiya berlari masuk. "Hehehe, Ma ketinggalan. Lupa." Afiya menggaruk tengkuknya, lalu kembali keluar meninggalkan Nada yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Afiya berlari ke arah samping rumahnya di mana letak rumah Dinara. Tanpa aba-aba lagi ia langsung berteriak. "Assalamualaikum, Dinara!"

Begitulah Afiya, ia sudah terbiasa berteriak-teriak di depan rumah sahabatnya tanpa rasa malu karena mengingat Dinara hanya tinggal bersama pembantunya saja. Entah ke mana perginya kedua orang tua Dinara.

Terlihat pintu cokelat bercorak ukiran terbuka menampakkan sosok wanita paruh baya dengan pakaian daster. "Eh, Non Fiya," sapa Bi Surti—pembantu rumah Dinara.

"Dinara nya ada, Bi?"

"Non Dinara masih belum bangun karena sem ...."

Tanpa mendengar ucapan bi Surti, Afiya langsung berlari masuk menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar sahabatnya. Memang, terkesan tidak sopan, tetapi Afiya dibuat terkejut saat mendengar bahwa Dinara belum bangun. Wah, kejadian langka. Biasanya, Dinara yang terlebih dahulu bangun sebelum dirinya. Namun, hari ini malah kebalikannya.

Dua Tuan Putri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang