Bab 31 || Tidak Ada Harapan

44 8 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Dinara menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Gadis itu sejak dari tadi hanya diam saja dengan memerhatikan pemandangan di luar sana yang jauh lebih indah dari pada hidupnya sekarang ini.

Hari ini perwakilan SMA 712 sudah pulang kembali ke Jakarta. Mereka sedang dalam perjalanan. Di bus hanya diisi dengan keheningan saja. Semuanya sedang tertidur karena merasa sangat lelah dengan kegiatan berhari-hari di Bandung mengikuti olimpiade.

Jika bertanya-tanya apakah SMA 712 membawa piala? Tentu, mereka membawa. Namun, bukan piala yang disoroti semua orang. SMA 712 berhasil menduduki juara ke dua dari olimpiade Nasional ini.

Meski bukan yang pertama, tetapi mereka sudah bangga dengan hasil pencapaian yang didapat. Itu, sama saja mereka pulang tidak dengan tangan kosong, tetapi dengan mengharumkan nama baik SMA 712.

Disaat semuanya bahagia mendengar kabar itu. Tidak untuk sosok gadis yang hanya bisa melamun memandang ke arah luar jendela. Dinara. Gadis itu merasa bahwa yang terjadi sekarang adalah salahnya. Bukannya ia tidak bersyukur hanya saja keinginannya bisa menjadi yang pertama, juara umum tidak terwujudkan.

Semuanya hanya sia-sia saja. Ia belajar siang dan malam tanpa henti-hentinya hanya demi olimpiade untuk bisa memenangkan hal itu. Ia tidak bisa menyalahkan pihak manapun karena yang sebenarnya bersalah di sini adalah dirinya sendiri.

Seandainya saja waktu itu ia tidak pingsan secara tiba-tiba mungkin hal ini tidak akan terjadi. Ia masih bisa lanjut ke olimpiade, tidak akan gugur. Namun, mau bagaimana lagi? Semua hanya kata 'andai' karena pada dasarnya segalanya sudah terjadi. Timnya gugur hanya karena dirinya.

Dafa yang berada di samping Dinara tentu saja merasa kasihan dengan gadis itu. Tentu ia sangat tahu bagaimana perasaan gadis di sampingnya itu.

"Fi, lo nggak apa-apa 'kan?" Dafa tidak tahan jika tidak bertanya. Sejak dari tadi di perjalanan cowok itu hanya memerhatikan Dinara terus-menerus.

Terlihat Dinara melirik Dafa sejenak, lalu kembali fokus ke arah luar jendela. Ia hanya diam saja, tidak ada niatan untuk membalas ucapan cowok di sampingnya.

Dafa mengembuskan napas berat. "Jangan banyak pikiran, Fi. Dokter menyarankan buat istirahat. Lo masih belum pulih."

Dinara masih diam saja. Kali ini gadis itu yang mengembuskan napas berat. Ia beberapa hari ini merasa pusing dan sering sekali mimisan hanya karena kecapean. Seharusnya ia ada waktu untuk istirahat sejenak seperti yang diucapkan Dafa agar ia tidak drop.

Namun, ia keras kepala. Ia dibutakan dengan belajar, belajar, dan belajar sampai-sampai lupa untuk beristirahat. Memang beberapa hari ini ia jarang sekali beristirahat dan juga ia makan tidak teratur. Mungkin ini membuat kondisi dirinya sampai drop.

"Gue tau lo kecewa karena nggak bisa yang pertama. Jangan salahin diri lo atas semua ini, Fi yang terpenting sekarang kita, lo pulang tidak dengan tangan kosong aja, tapi mengharumkan nama baik sekolah. Kedua? Nggak apa-apa, Fi. Itu, buat semuanya senang, bahagia."

Dua Tuan Putri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang