***
Dinara termenung di atas brankar tanpa ditemani siapapun. Kedua orang tua angkatnya pergi mengurus administrasi. Kiara yang tak kunjung kembali dan Azlan yang keluar untuk membelikan dirinya makanan. Makanan rumah sakit tidak enak oleh sebabnya ia menyuruh cowok itu. Sebenarnya ini hanya alasannya saja. Dirinya ingin sendiri, memikirkan hal yang terjadi hari ini terkhususnya pada Afiya.
Sibuk dengan pemikirannya sampai-sampai tidak menyadari bahwa pintu terbuka menampakkan geng Bullies, Inara, Husna serta Nadira.
"Hai, Na. Gimana keadaan lo?" Inara melangkah mendekati Dinara dengan senyumannya itu. "Nih, kita bertiga bawain lo beberapa buah dan makanan."
"Na, cepat sembuh, ya." Husna berdiri di samping kanan Inara.
"Biar bisa main bareng-bareng lagi," lanjut Nadira.
"Na, lo kenapa?" tanya Inara mengerutkan keningnya bingung. "Semakin hari lo semakin aneh aja. Apa karena ini ada hubungannya sama cewek cacat itu?"
Tiba-tiba Dinara mendongak memandang Inara. "Cacat?"
"Iya, cewek cacat itu, Afiya."
"Dia udah nggak cacat. Jadi, mending lo nggak usah sebut-sebut dia cacat lagi."
"Iya, nggak cacat lagi karena udah berhasil bunuh Dafa," sindir Husna yang tadinya Dinara berusaha bersabar kini memandang Husna dengan tajam.
"Kalau ngomong difilter dulu. Jangan asal nyelonong aja!"
Ketiganya terkejut dengan kemarahan Dinara termasuk Inara. Jarang-jarang Dinara marah sebesar itu.
"Lo kenapa, sih, Na?! Marah-marah, pakai segala belain cewek cacat itu!"
Kini giliran Inara yang mendapatkan tatapan tajam dari Dinara. "Di sini gue nggak belain siapa-siapa, ya. Gue cuman memperbaiki apa yang gue anggap benar yang kalian ucapin barusan itu nggak benar. Afiya nggak cacat."
"Kalau gue anggap cacat?"
Dinara mengembuskan napas kasarnya. Inara memang tidak ada telinganya untuk mendengar hal yang baik-baik. Dirinya sudah cukup bersabar dengan sikap Inara. Sekarang, sepertinya ia harus memberikan sedikit bumbu kepada gadis itu agar tersadar juga.
"Selamat, ya, Inara. Berhasil menjadi salah satu orang terjahat yang pernah ada." Dinara bertepuk tangan seolah-olah mengapresiasi usaha Inara. "Lo nggak pernah mikir, ya? Selama ini udah banyak orang yang lo bully karena keterbatasannya. Nggak peduli dia manusia atau bukan, lo tetap bully mereka. Lo itu cuman mengandalkan kekuasaan. Seharusnya lo introspeksi diri, apa lo udah sempurna?"
Inara hanya diam mendengar tanpa ada niatan untuk membalas. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani mengucapkan hal itu kepada dirinya dan dia adalah Dinara.
Dinara tersenyum miris. "Lo nggak pernah mikirin perasaan orang-orang yang lo sakiti yang lo peduliin cuman diri lo sendiri. Lo nggak tau aja banyak orang-orang yang pernah lo sakiti, depresi bahkan ada yang bunuh diri gara-gara lo. Mereka sakit hati dengan ucapan dan perbuatan lo. Coba lo sadar diri! Tanyakan kepada diri lo sendiri, apa semua yang lo lakuin udah bener? Apa lo bahagia? Nggak, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Tuan Putri [END]
Novela JuvenilRemaja-Fantasi Dinara dan Afiya adalah dua gadis yang sudah bersahabat sejak kecil. Dinara yang merupakan gadis cantik dan mempunyai tubuh ideal membuat ia diberi gelar sebagai mostwanted girls. Namun, berbeda dengan Afiya yang bertubuh gemuk dan je...