***
Dinara melotot memandang bangunan yang berada di hadapannya. Sekarang ini, ia dan Nada sedang mendatangi rumah yang terlihat begitu kecil dengan beberapa koper yang berada di tangannya.
"Ma, benaran kita tinggal di sini?" tanya Dinara tak percaya.
Terlihat Nada menghela napas berat. "Iya, Fi. Mulai sekarang kita akan tinggal di sini."
Sekali lagi Dinara memandang bangunan yang berada di hadapannya. Ia tidak akan nyaman tinggal di rumah yang kecil dengan fasilitas tidak lengkap. Ia sudah terbiasa tinggal di rumah yang besar dan mewah. Ia tidak bisa membayangkan kehidupan selanjutnya.
Nada tentu saja mengetahui isi pikiran putrinya. Ia menghela napas berat. "Maaf, Fi. Karena uang mama nggak cukup buat sewa rumah besar atau hotel, maka dari itu mama bawa kamu ke sini. Rumah peninggalan papa kamu dulu."
Dinara menoleh memandang Nada yang wajahnya memancarkan sebuah kesedihan. Ia turut sedih melihat itu. Wanita paruh baya yang berada di sampingnya sudah banyak menanggung beban. Mulai dari banting tulang untuk keluarga karena kematian sang suami sampai harus dihadapkan dengan kebangkrutan.
Andai saja ia masih ada di rumahnya mungkin ia sudah membantu Nada untuk tinggal bersamanya. Toh, ia hanya tinggal berdua dengan bi Surti. Namun, ia terjebak di tubuh Afiya. Jiwanya tertukar. Hanya Afiya saja yang bisa membantunya, tetapi gadis itu sudah dibutakan oleh kesempurnaan.
"Nggak apa-apa, Ma. Di mana pun aku tinggal asal bersama Mama, aku tetap bahagia, kok," lontar Dinara tersenyum dengan menyentuh tangan kanan Nada lembut.
Nada ikut tersenyum. Ia kira putrinya akan menolak dengan keras, tetapi semua perkiraannya salah. Sekarang, putrinya sudah banyak berubah lebih dewasa, tidak seperti dulu lagi. Tanpa aba-aba ia langsung menghamburkan pelukannya ke Dinara.
"Makasih, Fi. Mama bangga sama kamu."
Dinara membalas pelukan Dinara. Ia tersenyum sekaligus terharu. Sudah sangat lama ia tidak merasakan pelukan hangat khas seorang ibu. Ia merindukan semua itu, tetapi rasa rindunya sudah terobati dengan pelukan hangat dari Nada.
Setelah beberapa detik terdiam akhirnya mereka berdua melepaskan pelukannya. Mereka mulai melangkah memasuki rumah kecil itu dengan koper di tangan masing-masing.
Nada mulai membuka pintu itu, tetapi tidak bisa. Ia mencoba beberapa kali. Namun, tetap sama, tidak bisa hingga akhirnya ia memutuskan menyerah. Ia menghela napas berat. Apa karena rumah itu sudah sangat lama tidak ditinggali jadi seperti itu?
Dinara yang melihat wajah kelelahan Nada tidak tega hingga akhirnya ia mengucapkan, "Coba aku yang buka, Ma. Siapa tau bisa."
Setelah berusaha akhirnya pintu kusam itu mulai terbuka lebar menampakkan ruangan yang begitu kecil dan tentunya berantakan. Perlahan Dinara dan Nada mulai melangkah masuk yang masih setia menyeret kopernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Tuan Putri [END]
Fiksi RemajaRemaja-Fantasi Dinara dan Afiya adalah dua gadis yang sudah bersahabat sejak kecil. Dinara yang merupakan gadis cantik dan mempunyai tubuh ideal membuat ia diberi gelar sebagai mostwanted girls. Namun, berbeda dengan Afiya yang bertubuh gemuk dan je...