***Dinara terdiam. Gadis itu sekarang hanya sendiri saja di tengah-tengah ruang makan. Sang mama sudah pergi beberapa jam yang lalu begitupun dengan Dafa yang berpamitan karena ada urusan.
Rasanya tidak enak sekali jika hanya sendiri. Sepi. Hening. Senyap. Tidak ada lagi pembicaraan hangat seperti biasanya. Tidak ada lagi canda tawa. Semua sudah hilang digantikan kesunyian malam ini.
Ia termenung dengan terus-menerus memandang ponsel di hadapannya itu. Berharap jika sang mama menelepon dirinya. Namun, beberapa jam terakhir ini mamanya belum sama sekali ada tanda-tanda untuk menghubungi dirinya baik itu, lewat pesan atau telepon.
Sejujurnya ia lelah menunggu, tetapi sang mama lebih penting dari apapun itu. Entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak. Maka dari itu, ia sedikit khawatir saja jika terjadi sesuatu dengan mamanya. Namun, ia berusaha menyingkirkan pikiran negatif itu.
Disela-sela kegundahan hatinya itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang ternyata berasal dari perutnya. Sepertinya ia kelaparan mengingat sejak dari tadi ia tidak sempat makan apa-apa. Perutnya kosong.
Dinara beranjak dari duduknya. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Terlihat sangat jelas jika hujan masih mengguyur ibu kota Jakarta. Ini semakin deras saja membuat ia harus memakai payung.
Mengingat tidak ada makanan apapun di dapur membuat ia harus keluar ke warung. Namun, jika cuaca seperti sekarang ini sangat sulit sekali untuk keluar. Untung saja ia memiliki payung. Sediakan payung sebelum hujan.
Andai saja ia bisa menahan rasa laparnya ini mungkin ia lebih baik tidak usah keluar saja melihat cuaca di luar semakin buruk saja. Ia hanya takut saja dengan petir yang terkadang muncul secara tiba-tiba dengan bunyi yang keras, tetapi ia tetap harus pergi jika tidak ia bisa saja mati kelaparan.
Malam ini terlihat sangat menyeramkan sekali membuat bulu kuduk Dinara merinding saja. Ia sedikit parnoan, apalagi ia hanya sendiri saja. Rasa-rasanya ingin pergi saja karena sejujurnya ia tidak berani tinggal sendiri di rumah.
Tanpa mau berpikir panjang gadis itu melangkah cepat mengambil jas hujan yang berada di lemari bajunya. Tak lupa mengambil payung yang berada di belakang pintu. Mengingat waktu masih menunjukkan pukul tujuh membuat Dinara mengumpulkan keberaniannya untuk keluar.
Lagi pula warung tidak jauh dari sini. Hanya berjalan beberapa langkah saja. Jadi, sudah seharusnya ia tidak usah takut. Meski berusaha menyakinkan diri, tetapi tetap saja gadis itu takut sendirian apalagi di luar sana sepi, gelap tidak ada siapa-siapa.
Melawan ketakutannya itu, ia langsung keluar dari rumah. Payung yang ia pegang melindungi dirinya dari hujan deras itu. Ia melangkah pelan menyusuri jalan yang terlihat sangat sepi. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke warung.
Perasaan lega yang dirasakan Dinara disaat sudah sampai di tempat tujuan, warung. Ia menyimpan payungnya tidak jauh darinya. Tidak lupa juga ia sedikit mengeringkan rambut yang ternyata basah. Mungkin karena terkena percikan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Tuan Putri [END]
Fiksi RemajaRemaja-Fantasi Dinara dan Afiya adalah dua gadis yang sudah bersahabat sejak kecil. Dinara yang merupakan gadis cantik dan mempunyai tubuh ideal membuat ia diberi gelar sebagai mostwanted girls. Namun, berbeda dengan Afiya yang bertubuh gemuk dan je...