Sore, Dears! ❤️
How do you feel today?
Kangen Adhiyaksa dan Kissy, enggak?
Mari kita sama-sama berjuang untuk menyelesaikan naskah ini bersama-sama.
Siap mengkawal Kissy dan Adhy sampai ending?
Jangan lupa vote!
Penuhin inline-nya dengan komentar.
Tahan bibir buat senyum. Asal jangan nahan kentut.
Happy reading! ^_~
***
Adhiyaksa memerhatikan Kissy yang sibuk berjalan bolak-balik melewati ruang tamu. Ada saja yang gadis itu bawa ke kamar. Beberapa buku, majalah, kain, atau alat-alat design lainnya yang Adhiyaksa tak begitu mengerti. Kissy bahkan seolah-olah mengabaikan keberadaan dirinya yang tak lagi fokus menonton televisi.
"Do you need help?" Adhiyaksa akhirnya memutuskan bertanya.
Kissy berhenti sejenak. Di tangannya ada satu kotak besar pensil warna. Dia beradu pandang dengan Adhiyaksa sembari menggeleng.
"No, thanks. It's almost done."
Adhiyaksa mengangguk, tetapi tak mengalihkan atensinya. Glabelanya membentuk lipatan-lipatan halus seiring dengan kedua alisnya yang berkerut. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat kegiatan Kissy di dalam kamar karena kamar gadis itu sengaja dibuka lebar.
Sejak kejadian tidur bersama mereka minggu lalu, keduanya tak lagi saling canggung. Adhiyaksa dan Kissy mulai membangun kerjasama selama mereka tinggal bersama.
Dapur menjadi wilayah kekuasaan Adhiyaksa sekarang, sementara urusan bersih-bersih menjadi tanggung jawab Kissy. Namun, ada satu kegiatan yang mereka sepakati untuk dilakukan bersama, yaitu belanja mingguan.
Alasan pembagian tanggung jawab itu karena Kissy akhirnya mengaku kalau dirinya sama sekali tak ahli di dapur. Walaupun sudah bisa menebak, Adhiyaksa tak menertawakan kekurangan gadis itu. Dia hanya tersenyum maklum dan melontarkan janji untuk mengajari Kissy memasak jika keduanya kebetulan memiliki waktu luang.
Adhiyaksa menekan tombol off pada remote televisi, membuat layar besar dan tipis di depannya berubah gelap. Dia lantas mengangkat bokong seraya berjalan menuju gadis yang tengah sibuk mengepaki beberapa barang ke dalam koper.
Menghentikan langkah di ambang pintu, Adhiyaksa menelisik kamar berantakan Kissy sebentar. "Kamu mau pergi?" tanyanya kemudian.
Kissy mengangguk tanpa menoleh. "Mrs. Barbara memintaku untuk mengikuti seminar design."
"Menginap?"
Lagi-lagi Kissy mengangguk.
Adhiyaksa ingin mendekat untuk membantu, tetapi logikanya melarang. Bagaimanapun, memasuki kamar seorang gadis tanpa izin bukanlah tindakan yang baik. Apalagi dirinya hanya berdua saja dengan Kissy. Akhirnya, dia menyandarkan punggung di kusen pintu sembari bersendekap.
"Di mana?"
"Huh?" Kissy mendongak sejenak, tak mengerti pertanyaan satu kata dari Adhiyaksa.
"Acaranya di mana?" ulang Adhiyaksa, memperjelas.
"Di Ritz Paris Hotel."
Kini giliran Adhiyaksa yang mengangguk. Sejujurnya, lidahnya gatal untuk bertanya berapa lama Kissy mengikuti seminar. Namun, dia tak jua meluncurkan pertanyaan itu karena takut dianggap mencampuri privasi masing-masing lebih jauh. Selain itu, logikanya berkata bahwa urusan Kissy di luar sana bukanlah urusannya. Lantas kenapa dia harus repot bertanya ini dan itu yang tidak berkaitan dengan dirinya. Benar begitu, bukan?
"Hm. Good luck then!" tutur Adhiyaksa kala tak memiliki hal lain lagi untuk ditanyakan. Dia pun berniat memutar tungkai untuk kembali ke sofa.
"Adhy!" panggil Kissy seraya berjalan mendekat. Adhiyaksa menoleh. Sebelah alisnya terangkat menunggu Kissy mengutarakan alasan memanggilnya. "Aku pergi tiga hari. Kamu akan terus pulang selama tiga hari itu, 'kan?"
Adhiyaksa tak langsung menjawab. Dia menatap Kissy, menelisik. Seketika ada letupan kecil di hatinya ketika dia mendengar Kissy menanyakan kepulangannya dengan nada dan raut khawatir. Lagi-lagi Adhiyaksa merasakan kehangatan yang sempat menelusupi hatinya saat dia sakit.
Senyum Adhiyaksa nyaris terbit seiring buncahan rasa senang yang dia rasakan. Akan tetapi, dalam sepersekian detik dia berhasil mengubah tarikan kedua sudut bibirnya menjadi sebuah dehaman.
"Aku akan pulang." Adhiyaksa berkata tegas dan menyiratkan janji. Manik matanya menyorot Kissy dalam. Bayangan Kissy memantul jelas tepat di retina matanya, mengaburkan segala bayang di sekeliling mereka.
Kissy melengkungkan senyum. Sedikit banyak, dia mulai tahu kebiasaan buruk Adhiyaksa saat bekerja. Pria itu seakan-akan lupa waktu. Adhiyaksa bahkan tak segan menggadaikan kesehatan dirinya.
"Baguslah kalau begitu. Aku tidak mau saat pulang nanti malah mendapatimu sakit lagi. Karena aku tidak ada, kamu bisa panggil jasa tukang bersih untuk membereskan rumah. Jangan lupa makan! Dan tolong kurangi kebiasaanmu yang masih bekerja sampai larut malam. Dilarang keras membawa pekerjaan ke rumah. Got it?" Kissy mengacungkan jari telunjuknya sembari memelototkan mata sok garang.
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Adhiyaksa refleks mengangguk dan sukarela mengatakan, "Okey. No work at home." Kissy pun tersenyum senang.
Melihat senyum Kissy, membuat Adhiyaksa terpaku. Entah mengapa dia ingin melihat senyum itu selalu. Senyuman lembut, hangat, dan penuh binar yang terpancar dalam mata seperti senyum milik Mala yang begitu dia rindu. Dan seolah-olah tak ingin senyum itu cepat berlalu, bibirnya lebih cepat melontarkan sebuah kalimat yang tak pernah dia pikirkan lebih dulu.
"When I see you smile, I think I like you."
Tbc
Sudah senyum gumush pas baca bab ini?
Semoga suka, ya ...
Big hug,
Vanilla Hara
11/03/21
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...