BREAK UP #28

1.4K 196 44
                                    

Sudah vote dan komentar di bab sebelumnya?

Kalau belum, coba vote dan komentar dulu di sana.

Terima kasih yang sudah vote dan komentar. Kalian luar biasa. Terlebih yang masih menunggu cerita ini berlanjut. ❤️

Happy reading!







***






"Kita akan memindahkannya ke kamar inap."

Adhiyaksa tak lagi bertanya. Dia berjalan mengikuti brankar Amira. Wajah istrinya itu begitu pucat dan terlihat sangat lemah. Amira pasti tak berhenti memuntahkan isi perutnya sejak pagi. Dia bahkan sangsi Amira bisa makan dengan baik hari ini.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Adhiyaksa sesaat setelah kantung infus Amira tergantung.

"Maaf, apa hubungan Anda dengan pasien?" Seorang dokter wanita yang sebelumnya luput dari pandangan Adhiyaksa bertanya.

"Saya suaminya."

Dokter itu mengangguk singkat. "Dia mengalami pendarahan, tetapi tidak fatal. Bayi dalam kandungannya sangat kuat. Dia hanya mengalami sedikit syok. Saya sudah memberikannya vitamin dan penguat kandungan. Sementara untuk malam ini, dia dirawat di sini dulu. Sebenarnya, tadi saya sudah menjelaskan ini pada-"

"Dia adik saya."

Lagi-lagi dokter itu mengangguk. "Seperti yang saya sarankan pada adik Anda. Kelelahan dan beban pikiran yang berat tidak baik bagi kandungannya. Sebisa mungkin, tolong jaga suasana hatinya agar terus stabil."

"Baik. Terima kasih, Dok."

Setelah menjelaskan beberapa poin penting mengenai kondisi Amira, dokter dan beberapa suster itu pergi. Adhiyaksa belum bergerak seinci pun dari ujung ranjang, mengamati Amira yang masih memejamkan mata. Akan tetapi, Adhiyaksa tahu kalau Amira sudah bangun sejak dia berbicara dengan dokter tadi.

Amira menggerakkan kelopak matanya membuka perlahan. Manik matanya langsung bertumbukan dengan manik mata kelam Adhiyaksa. Detik itu juga dia langsung membuang muka ke sisi kanan.

"Kamu tidak perlu menemaniku di sini kalau sibuk. Aku sudah tidak apa-apa. Pergilah!" usir Amira.

Adhiyaksa menipiskan bibir. Dia membuka jasnya dan menyampirkannya ke ujung brankar di dekat kaki Amira. Sembari melepas kancing di setiap lengannya, dia berjalan mendekat. Dia menggeret sebuah kursi, lantas duduk tepat di hadapan Amira dengan kedua tangan menyilang di dada.

"Ceritakan apa yang sebenarnya kamu lakukan sampai bisa seperti ini, Amira?" tuntutnya saat Amira berniat memalingkan wajah ke sisi lain.

"Bukan urusanmu."

"Bukan urusanku katamu?" Suara Adhiyaksa menahan marah.

Dia berusaha memahami Amira dan berdamai dengan wanita yang telanjur menjadi istrinya itu. Namun, Amira sepertinya tak memiliki niatan yang sama dengannya dan benar-benar memegang teguh kesepakatan mereka sekalipun wanita itu hampir sekarat seperti sekarang.

"Sudah kukatakan beberapa kali, bukan? Kita menikah di atas kertas. Selebihnya, kita urus urusan kita masing-masing. Kamu tidak punya hak untuk merecoki urusanku."

Adhiyaksa terus menatap Amira yang berlagak acuh tak acuh. Dia geram, tetapi tak bisa melampiaskan amarah. Sejujurnya, dia tak berniat melemparkan diri pada masalah yang sedang Amira emban. Dia juga tak berselera mencampuri urusan wanita itu andai saja Amira tak melibatkan Abrisam di dalamnya. Terlebih lagi, Amira sampai membahayakan kandungannya. Tidak, Adhiyaksa tidak bisa. Walaupun bayi dalam kandungan Amira bukan berasal dari benihnya, dia tetap tak akan membiarkan Amira melakukan hal ceroboh seperti hari ini lagi.

"Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu," kata Adhiyaksa setelah mendengkus keras.

"Baguslah kalau begitu. Kamu bisa tinggalkan aku sendiri sekarang." Amira berusaha bangun, tetapi meringis hebat saat perutnya serasa tertarik.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" hardik Adhiyaksa yang langsung membantu Amira kembali berebah. "Aku tidak tahu apa masalahmu, Amira. Hanya saja, tolong pikirkan bayimu. Jangan melakukan hal-hal yang bisa membahayakannya!"

Amira terdiam, membuat Adhiyaksa menghela napas. "Kamu butuh sesuatu? Kamu mau minum?" tawar Adhiyaksa, akhirnya. Dia berusaha bersabar kala mengingat petuah dokter beberapa saat lalu.

"Aku ingin ponselku."

"Ponsel?" tanya Adhiyaksa dengan kening berkerut. Kemudian dia melangkah ke ujung ranjang di mana jasnya tersampir masai. Dia merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel yang sempat Abrisam titipkan. "Ponsel ini maksudmu?"

Seketika atensi Amira beralih pada benda yang sedang Adhiyaksa acungkan ke udara. "Berikan!" pintanya.

Alih-alih menuruti keinginan Amira, Adhiyaksa malah menyimpan kembali ponsel tersebut. "Aku akan berikan padamu setelah kamu pulih. Sekarang istirahatlah!"

"No ... No, Adhiyaksa. Berikan ponsel itu. A-aku mau ponselku." Amira yang semula ketus, kini merengek layaknya anak kecil hanya demi sebuah ponsel. Kedua matanya bahkan mulai berkaca-kaca, bersiap untuk menangis.

"Ini hanya ponsel, Amira. Sekarang kamu harus istirahat, ya!" Adhiyaksa mencoba memberikan pengertian.

Sayang, Amira tak mau mendengar apa yang Adhiyaksa katakan. Air matanya menetes semakin deras seiring tangisnya yang mengeras.

Perubahan cepat suasana hati seorang ibu hamil, sukses membuat Adhiyaksa kelimpungan. Dia melipat jarak dan mengusap pipi Amira yang basah. Direngkuhnya kepala Amira sembari memberikan usapan menenangkan pada punggung wanita itu.

"Iya, oke. Aku akan berikan ponselmu. Sekarang tenang, ya! Kamu butuh istirahat, Amira. Kamu tidak mau kehilangan dia, bukan? Kamu menyayangi bayimu dan menginginkannya, bukan? Jadi, berhentilah menangis. Dia pasti ikut merasa sedih kalau kamu seperti ini."

Sekian menit berlalu, perlahan tangis Amira mereda. Istrinya itu berangsur tenang dan sepertinya tak sengaja terlelap. Bisa Adhiyaksa rasakan napas teratur Amira dalam dekapannya. Cengkeraman tangan Amira pada lengannya pun melemah.

Dengan gerakan sehalus mungkin, dia merebahkan kepala Amira di bantal. Dirapikannya rambut Amira yang berantakan. Dia juga mengusap sisa-sisa air mata di pipi Amira.

Tangan Adhiyaksa yang sedang menarik selimut berhenti ketika mendengar Amira mengigau lirih. Kendati denikian, Adhiyaksa masih cukup jelas mendengarnya.

"Mas Rama ... jangan menikah dengan wanita itu. Tunggu kami, Mas. Kami akan kembali padamu."



Tbc


Sudah?

Mau update lagi hari ini?

Coba vote dan komentar yang banyak dulu!

Kalau kalian jadi Adhiyaksa, mending Adhiyaksa ngapain di sana?

See you!









Big hug,
Vanilla Hara
13/12/20

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang