BREAK UP #49.5

1.2K 159 18
                                    

Malam, Dears!

Setelah tadi sore update lapaknya Eros—Alyka, sekarang giliran Kissy—Adhiyaksa.

Sudah siap menyambut ending?

Gimana perasaan kalian sampai detik ini baca BREAK UP?

Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.

Happy reading!





***






Lagi-lagi Prasaja mengumbar tawa jumawa. Dia menganggap perkataan Adhiyaksa setara gertakan sambal biasa. Memangnya apa yang bisa putranya itu lakukan untuk menentangnya? Mungkin Adhiyaksa cerdas dalam bekerja, tetapi putranya itu jelas sangat bodoh dalam hal asmara.

"Listen, Son! I've told you before. Jangan jadikan wanita sebagai kelemahanmu, melainkan sebagai keuntungan dan kepuasan semata. Kamu boleh menyimpan dia untuk memuaskanmu, tetapi tidak untuk pendamping hidup. Main-mainlah sesukamu, Papa tidak akan melarang. Hanya saja apa yang kamu lakukan sudah keterlaluan. Mengajukan surat pembatalan perkawinan, eh?"

Kekehan kecil Prasaja mengiringi. Namun, sedetik kemudian ekspresi santai di wajahny berubah serius dan mematikan.

"Apa yang kamu pikir saat melakukan itu? Cinta?" Prasaja meludah ke sisi kiri. "Kamu melewati batas yang bisa Papa toleransi. Jadi," Jari telunjuk Prasaja mengacung tepat ke wajah Adhiyaksa.

"Jangan salahkan Papa kalau sekarang Papa menyingkirkan mainanmu itu. Sudah cukup main-mainmu. Sekeras apa pun kamu berusaha, kamu tidak akan bisa menyentuh mainanmu lagi. Jika kamu masih terus menentang Papa, maka Papa sendiri yang akan pastikan melenyapkannya di depan matamu. Camkan itu!"

Sekujur tubuh Adhiyaksa gemetar. Dia pantas takut sekarang. Membayangkan Kissy menghilang dari hidupnya saja sudah membuat Adhiyaksa kelabakan. Belum lagi jika sampai dia menyaksikan sendiri bagaimana Papa berhasil menyentuh dan menyakiti Kissy.

Adhiyaksa tak akan mampu menanggung dosa dan penyesalan itu seumur hidup. Tidak. Kissy tidak pantas menjadi korban akan keegoisannya. Namun, Adhiyaksa juga tak rela melepaskan wanita yang dicintainya secata cuma-cuma.

Tatapan Adhiyaksa meredup. Kedua matanya yang tajam kini berubah teduh sarat akan permohonan. Dia mencari sedikit saja belas kasihan Prasaja.

"Bukankah Papa juga menikahi ibunya Abrisam hanya secara agama?" ucap Adhiyaksa telak.

"Benar. Tapi Papa tidak menjadi bodoh sepertimu."

"Mencintai seseorang bukanlah suatu kebodohan, Pa. Jika tidak, maka aku dan Abrisam tidak akan hadir di dunia ini."

Lagi-lagi Prasaja hanya terkekeh kecil. Rupanya, dia menganggap sang putra sedang mencoba bersenda gurau dengannya. Tak peduli seberapa serius mimik muka Adhiyaksa, baginya apa yang Adhiyaksa katakan sungguh menggelikan.

"Jangan salah paham, Nak! Kehadiranmu adalah sebuah kewajiban sebagai penerus perusahaan, sementara kehadiran Abrisam adalah bagian dari kesalahan."

"Kewajiban dan ... kesalahan?" tanya Adhiyaksa sangsi. Dia tak percaya mendengar kata-kata keji itu dari mulut pria yang selama ini dihormatinya.

"Tentu saja. Itulah kenapa hanya kamu yang pantas mewarisi semua ini, bukan Abrisam. Lagi pula, anak itu sepertinya sudah lebih dulu sadar akan posisinya. Papa senang karena tak perlu lagi pura-pura membujuknya mengikuti jejakmu di perusahaan. Dia tidak pantas."

Adhiyaksa tersenyum miris. Sebegitu rendah dan hinanya kedudukan seorang anak di mata Prasaja. Adhiyaksa menjadi ragu apakah pria itu pernah tulus menyayanginya atau tidak. Dia pun juga mulai kehilangan keyakinan akan rasa cinta Papa kepada Mala.

"Tapi, Nak! Papa sadar kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tanpa bisa dinyana, kamu mengulang cerita lama Papa. Sebelum kamu melakukan kesalahan lebih jauh dan menghadirkan Abrisam-Abrisam baru, sudah sepatutnya Papa memangkas apa yang mungkin tumbuh menjadi benalu."

Tenggorokan Adhiyaksa terasa tersumbat. Napasnya memburu karena diliputi amarah dan kecewa. Percuma saja bicara dengan Prasaja. Dia tidak akan mampu mengubah apa pun. Satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh adalah dengan menpertahankan harga diri dan keberaniannya. Dia harus melawan mati-matian hasrat memberontaknya jika tidak ingin merasakan kehilangan menyakitkan.

Adhiyaksa laksana nenelan pil pahit kala bertanya, "Kalau aku meninggalkannya sekarang, apa Papa berjanji tidak akan menyentuhnya?"

"Selama dia tidak mengacau, Papa tidak akan berbuat apa pun."

Adhiyaksa mengangguk. Meskipun kalah, paling tidak janji Prasaja adalah hal yang paling bisa dia pegang. Sekalipun licik, keji, dan penuh timu muslihat, Prasaja bukanlah orang yang suka ingkar janji.

"Baiklah. Aku akan meninggalkanya. Tapi izinkan aku tetap bisa melihatnya dari jauh. Aku ingin memastikan kalau Papa menepati kata-kata Papa untuk tidak mengganggu atau menyentuhnya," putus Adhiyaksa final setelah mempertimbangkan keselamatan Kissy sebagai prioritas utama.

Tak masalah jika mereka tak bisa bersama asal wanita yang dicintainya itu tetap bisa hidup dengan baik. Mingkin, Kissy akan bersedih sebentar. Setelahnya, Adhiyaksa yakin istrinya itu akan mampu menemukan bahagia tanpa dirinya.

Ptasaja mengusap dagunya yang ditumbuhi rambut-rambut putih. Dia menatap Adhiyaksa penuh pertimbangan. Selang lima detik, dia akhirnya mengangkat kedua tangan.

"Fine! Kamu pegang janjimu, Papa pegang janji Papa. Tapi jika kamu tak menemukannya setelah kembali ke sana, ingatlah baik-baik! Bukan Papa yang melakukannya."

"Maksud Papa?"

Prasaja mengendikkan bahu tak acuh. Dia menyulut kembali cerutunya yang sempat mati.

Geram, Adhiyaksa menggebrak meja. "Katakan, apa yang sudah Papa lakukan pada Kissy?!" teriak Adhiyaksa diliputi amarah.

"Sudah Papa katakan, Papa tidak melakukan apa pun. Tanyakan saja pada adik kesayangmu itu. Kamu pikir dia tidak akan pernah menggigitmu sekalipun kamu sudah memberinya makan?"

Rahang Adhiyaksa mengeras seiring giginya ang bergemeletuk. Sorot matanya menajam begitu mengerikan. Dalam sekejap, dia berbalik dan mengambil langkah lebar. Dia tak bisa menunggu waktu lagi sekarang. Dia harus secepatnya pulang. Ketakutan yang pekat kian menyelubungi Adhiyaksa. Hal-hal buruk pasti sudah Abrisam lakukan di sana. Terbukti saat Prasaja tak berusaha mencegah kepergiannya.

Adhiyaksa segera mengambil penerbangan yang ada. Tanpa membawa apa pun kecuali dompet dan ponsel, Adhiyaksa berlarian di bandara. Sebelah tangannya tak berhenti menempelkan ponsel di telinga, mencoba menghubungi istrinya. Dia baru sadar kalau Kissy belum membaca pesan darinya.

"Angkat, Sugar! Please, angkat," mohon Adhiyaksa lirih terbawa angin. Dia menggasak rambutnya asal-asalan. Wajahnya penuh dengan kefrustrasian. Berkali-kali dia mengusap wajah kasar.

"Shit!" Satu umpatan lolos dari bibir Adhiyaksa. "Damn, Abi! Kalau sampai kamu berani menyentuhnya, aku tidak akan pernah melepasmu. Aku pastikan kamu akan membayar hal-hal menyakitkan yang Kissy terima."




Tbc




Tarik napas .... Embuskan pelan-pelan. Tinggal satu bab lagi buat lambaikan tangan sama pasangan bucin ini.

Enggak ada yang mau Hara katakan lagi. Baca ulang kisah mereka, Hara ikutan sesak. Padahal vibes-nya sudah agak hilang keganti sama pasangan bucin sebelah. Tapi tetap saja masih nyesek banget.

Thank you masih setia di lapak ini, Dears.

Walaupun viewers, vote, dan komentarnya merosot tajam, Hara tetap berterima kasih dan bersyukur atas apresiasi kalian. Apalagi yang sampai ke karyakarsa.

Thank you so damn much! ❤️






Big hug,
Vanilla Hara
30/08/2021

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang