BREAK UP #03

3.5K 290 5
                                    

Malam menjelang midnight, Dear! ^^

Ada yang masih bangun? Yuk ramein lapaknya Mas Adhiyaksa ini! Hitung-hituny hiburan sambil nungguin COFFEE BREAK ending.

So, here we are ...

Selamat bersenang-senang!
Putar mulmednya!

Happy reading! ^^



***

"Apa sebegitu sibuknya pekerjaan kantor sampai kamu tidak bisa meluangkan barang sejam saja waktumu untuk bertemu calon istrimu?"

Adhiyaksa baru saja menapakkan kakinya di ruang tamu. Seingatnya, dia pulang cukup larut sehingga tidak memungkinkan Papa menunggu kedatangannya seperti saat ini. Bukan apa, dia hanya enggan berdebat saat kepalanya benar-benar butuh istirahat. Tidak hanya sekadar fisiknya saja, melainkan juga mental yang dia punya. Namun, perkiraan Adhiyaksa kali ini meleset. Entah apa yang membuat Papa bertekad menunggunya sampai selarut ini.

Adhiyaksa melangkah menghampiri Papa yang duduk dengan angkuh di sofa single. Setelan Adhiyaksa sudah tak rapi, menandakan betapa lelahnya dia hari ini. Tidak ada lagi jas necis yang menggantung di bahunya selain selembar kemeja putih dengan dua kancing teratas terbuka dan simpul dasi yang sudah longgar.

"Jika aku tunda, pekerjaanku akan semakin menumpuk, Pa. Papa tahu sendiri banyak proyek yang aku tangani akhir-akhir ini. Tidak hanya proyek di Indonesia, melainkan juga proyek di luar negeri," jelas Adhiyaksa tanpa berniat ikut duduk.

Papa mengecimus dengan menyunggingkan senyum miring. "Meng-handle proyek segitu saja kamu sudah kelimpungan seperti ini? Yang benar saja!"

Adhiyaksa menatap Papa datar. Jika boleh jujur, ada ribuan rasa yang bergejolak dalam hatinya. Namun, dia memilih untuk tak menampakkan ekspresi apa pun.  Dia konsisten menjadi Adhiyaksa yang tenang dan tak tertebak.

Bagaimanapun, dia tak akan memperlihatkan kelemahannya di depan Papa. Dia sangat mengenal siapa Prasaja yang menyandang status sebagai papanya itu. Sejarah hidupnya mencatat bahwa Papa tidak akan pernah menerima kelemahan, keterbatasan, dan kekalahan apa pun pada diri ahli warisnya yang sah yang tak lain dan tak bukan adalah dirinya, Adhiyaksa Prasaja.

Adhiyaksa sudah lama membiasakan diri menjadi sosok putra ideal bagi Papa. Berbagai tekanan seakan-akan menjadi makanannya sehari-hari. Dia seolah-olah memang sengaja ditempa dan dipersiapkan untuk mewarisi kerajaan Prasaja. Padahal, jika saja Papa mau mendengar jeritan hatinya, dia tidak butuh kerajaan itu dalam hidupnya. Dia punya mimpi, tetapi mimpi itu terlihat semakin jauh, bersimpangan jalan dengan apa yang Papa inginkan dari dirinya.

"Aku baru pegang perusahaan satu tahun belakangan, Pa. Wajar kalau aku masih dalam proses adaptasi dan mempelajari segala hal. Selama ini aku hanya duduk sebagai staf biasa di sana, bukan sebagai pemimpin tertinggi. Tentu saja tanggung jawab yang aku emban juga semakin bertambah besar."

"Semua pembisnis tahu omong kosong itu," tukas Papa tanpa memikirkan respon Adhiyaksa kala mendengarnya. "Kalau kamu merasa tidak mampu, bilang saja. Papa akan menggantikanmu dengan Abrisam."

Bungkam adalah jalan terbaik yang Adhiyaksa pilih. Pasalnya, jika dia kembali mengeluarkan argumen, Papa tak akan segan merealisasikan ucapannya. Dia diam bukan karena takut kehilangan kedudukan dan jabatan, melainkan untuk melindungi Abrisam dan semua mimpi-mimpi adiknya itu. Cukup dirinya saja yang menanggung beban nama Prasaja di belakang namanya. Cukup dirinya saja yang tak punya mimpi selain mendedikasikan diri menjadi ahli waris terbaik. Cukup dirinya saja yang kehilangan arah atas tujuan hidup sebenarnya.

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang