Sore, Dears! ^^
Hari ini double update ya buat nebus yang kemarin belum sempat update.
Langsung saja ...
Putar mulmednya! Perasaannya Amira banget lagunya.
Happy reading! ^^
***
Amira tidak pernah tahu kalau calon suaminya adalah orang yang pemaksa. Setelah gejala mualnya mendadak hilang, Amira sempat meminta Adhiyaksa mengurungkan kunjungannya ke dokter. Namun, pria itu keukeuh menginginkan Amira menjalani pemeriksaan untuk sekadar memastikan kesehatannya dengan dalih tak ingin kejadian hari ini terulang kembali.
Sesampainya di lobi, Adhiyaksa menggiring Amira menuju bangku tunggu. Kemudian pria itu meminta kartu identitas Amira dan mulai sibuk mengurus adninistrasi sedirian, menjadikan Amira hanya sebagai penonton saja. Melihat hal itu, rasa sesal perlahan menelusup dalam hati Amira, mengingat apa yang Adhiyaksa lakukan saat ini hanyalah sia-sia. Amira tidak sakit. Dia baik-baik saja. Bukan fisiknya yang sakit, melainkan hal lain yang menjadi penyebabnya. Dan hal itu tidak akan pernah ada obatnya selain mereda dengan sendirinya.
Adhiyaksa berjalan mendekati Amira. Dia duduk di bangku kosong tepat di sebelah kanan calon istrinya itu. Lalu dia memperlihatkan nomor antrean yang didapatkannya.
"Kita mendapat giliran nomor 31. Masih lumayan lama. Apa ada sesuatu yang kamu inginkan sewaktu kita menunggu?" tanyanya sembari menatap Amira lamat.
Amira menggeleng. Dia mengusap dahinya yang berkeringat. Tiba-tiba dia merasa gerah dan menginginkan es kelapa muda. Astaga! Sepertinya keinginannya mulai tak masuk akal hanya karena dia tak sengaja melihat anak kecil sedang menyeruput sekotak jus buah.
"Kamu berkeringat. Bersabarlah. Gunakan ini untuk menyekanya." Adhiyaksa mengangsurkan sapu tangan.
"Terima kasih," ucap Amira dengan suara tercekat. Dia berdeham untuk menggelontorkan saliva pada tenggorokannya yang mengering.
Adhiyaksa lantas berdiri dan hendak pergi, tetapi Amira mencekal lengannya lebih dulu. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Membelikanmu minum," sahutnya singkat.
"Aku tidak haus."
Adhiyaksa mengangguk. Dia melepas cekalan Amira pada lengannya. Kemudian dia menyelipkan nomor antrean yang sedari tadi dia pegang pada telapak tangan wanita itu. "Aku tahu. Tapi kamu harus tetap minum jika terus berkeringat seperti ini." Adhiyaksa mengusap bulir keringat di pelipis Amira. "Kalau tidak, nanti kamu dehidrasi. Mengerti?"
Amira yang tahu kalau Adhiyaksa tidak mudah dibantah, akhirnya hanya mengangguk. Dia membiarkan pria itu beranjak menjauh menuju kantin. Netranya memandangi nomor antrean yang dia genggam. Selang beberapa detik, kepalanya mendongak ke sudut kiri, menatap plang poli lain.
Mengalihkan pandangan ke bangku tunggu di sana, Amira terpaku untuk beberapa saat memandangi seorang wanita hamil sedang didampingi sang suami yang tak henti mengusap perut besar istrinya. Sepasang suami istri itu terlihat bahagia menanti giliran buah hati mereka diperiksa. Dia mendadak sedih dan ingin menangis.
"Amira?"
Amira sontak terkesiap dan menggerakkan kepala cepat mencari sumber suara yang memanggilnya.
"Ah, benar kamu rupanya. Lagi apa di sini?"
"A-abi? Kamu ...." Amira tak jadi melanjutkan pertanyaannya. Dia berdiri setelah melihat Soraya di belakang Abrisam. "Tante," sapanya seraya mendekat dan meraih tangan wanita yang dia tahu sebagai Mama Adhiyaksa dam Abrisam itu untuk dia cium.
"Amira! Kamu kok di sini, Sayang? Sudah selesai ketemu WO-nya?" tanya Soraya ramah dan antusias.
Amira mengulas senyum, tetapi tak bertahan lama. Sudut-sudut bibirnya kembali turun saat manik matanya menangkap beberapa luka lebam di pipi dan bagiaan leher Soraya. "Tante, ini kenapa?" Amira tak bisa menahan tangannya untuk menyentuh lebam yang cukup besar di pipi Soraya dengan hati-hati.
Soraya berjengit, tetapi langsung menggenggam tangan Amira dan menurunkannya. "Tante tidak apa-apa, Sayang. Kemarin Tante tidak sengaja jatuh dan kepentok pintu. Amira sama siapa ke sini? Mau periksa juga? Kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik saja kan, Sayang?"
"Aku-"
"Dia bersamaku." Adhiyaksa berjalam mendekat dan berdiri di samping Amira. Dia lantas mengulurkan sebotol air mineral yang sudah dia bukakan tutupnya pada wanita itu. "Minumlah!" perintahnya.
"Nanti saja," tolaknya.
"Setelah kamu dehidrasi?"
Amira menghela napas. Dia sudah hendak meneguk air mineral itu saat Adhiyaksa malah menekan tubuhnya agar duduk.
"Tidak baik minum sambil berdiri," ucap Adhiyaksa.
Abrisam yang mengamati interaksi kakaknya dengan Amira lantas berdeham. Sementara Soraya hanya tersenyum simpul.
"Mami, sebaiknya kita pulang dan segera menebus obat dari dokter dibanding merecoki dua sejoli ini. Amira sudah punya penjaganya. Yuk, Mam!" ajak Abrisam sengaja menyelipkan nada sindiran saat melihat atensi Adhiyaksa yang tak sedetik pun lepas dari Amira.
Amira segera menyudahi tegukannya dan berniat berdiri, tetapi ditahan oleh Adhiyaksa. Pria itu mengisyaratkan lewat gerakan mata agar Amira tetap duduk saja. "Tante sudah mau pulang?" tanya Amira sungkan.
"Iya, Sayang. Kamu baik-baik, ya! Kami pamit dulu." Soraya sedikit membungkuk untuk mengecup kedua pipi Amira sayang. Setelahnya, dia mengelus pundak kanan Adhiyaksa seraya berkata, "Jaga Amira baik-baik ya, Nak. Mami sama Abi balik dulu."
Adhiyaksa hanya mengangguk. Tatapannya mengarah pada Abrisam seolah-olah sedang bertanya. Keduanya bersitatap agak lama sebelum Abrisam menipiskan bibir dan menepuk pundak kakaknya. "Nanti kita bicara, Kak. Aku antar Mami pulang dulu," ucap Abrisam, lalu melangkah menyusul Soraya yang lebih dulu berlalu.
Tbc
Sila vote dan komentar bagi yabg berkenan.
Sampai jumpa di lain kesempatan! ❤
Big hug,
Vanilla Hara
05/02/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...