Malam, Dears! ^^
Hara update lagi dong hari ini.
Kini kita lihat apa yang bakal terjadi di malam pengantin Mas Adhy. Apakah Mas Adhy berhasil uhuk-uhuk?
Jangan lupa vote sebelum membaca dan komentar di akhir ceita, ya...
Happy reading! ^^
***
Satu jam yang lalu, resepsi pernikahan mereka sudah selesai. Amira bergegas menuju kamar hotel yang dijadikan kamar pengantinnya bersama Adhiyaksa untuk beberapa hari. Sedangkan Adhiyaksa, pria itu masih sibuk menjamu rekan bisnisnya yang tak habis memberikan ucapan selamat, membiarkan Amira beristirahat lebih dulu.
Wangi bunga mawar segera menyambangi indera penciumannya sesaat setelah memasuki kamar president suite itu. Dia mundur beberapa langkah kala heels-nya tak sengaja menginjak taburan kelopak mawar putih di sepanjang lantai. Untuk beberapa detik, dia terkesima memandangi dekorasi kamar yang sangat indah dan terkesan romantis penuh cinta.
Bagaimana tidak, kamar mereka disulap menjadi taman bunga. Kelopak mawar putih sengaja ditebar menutupi setiap inci lantai, berbeda dengan ranjang yang penuh dengan kelopak mawar mewah, sangat kontras dengan seprai dan bed cover yang lebih didominasi warna putih. Jangan lupakan sepasang angsa yang terbuat dari lipatan handuk dan sebuket mawar merah di tengah-tengahnya. Sungguh kamar pengantin yang mampu mengundang gairah.
Amira menutup pintu di belakangnya dengan pelan sembari menghela napas berat. Batinnya sama sekali tak bahagia dengan pernikahan yang baru saja dijalaninya. Terlebih saat dia harus memandang miris kamar pengantinnya dengan Adhiyaksa. Entah apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan Adhiyaksa nanti. Yang jelas, kali ini dia sangat gerah dan ingin mengempaskan gaun putih yang sangat menyesakkan tubuhnya sepanjang acara.
Dia berjalan menghampiri meja rias. Pertama-tama, dia menghapus make up di wajahnya. Setelah selesai, dia meraih kancing teratas gaunnya, dekat dengan leher bagian belakang. Satu kancing itu berhasil dia lepas. Begitu juga dengan kancing kedua dan ketiga. Baru pada kancing keempat lah dia merasa tidak akan sanggup melepasnya. Tangannya tidak sampai sekalipun dia sudah berusaha.
Tepat saat dia sedang kesusahan, Amira merasakan tangan lain sedang membantu melepaskan kancing-kancing di sepanjang punggungnya. Dia terkesiap kala menatap kaca rias, mendapati Adhiyaksa sudah berdiri di belakangnya dan fokus pada pekerjaannya.
"Sepertinya, gaun yang kamu kenakan memang sengaja dirancang agar aku membantumu membukanya," komentar Adhiyaksa tanpa mengalihkan perhatiannya.
Amira terdiam kaku, tak berani berpindah atau bergerak sesenti pun. Dia ingin menolak bantuan Adhiyaksa, tetapi dia tak bisa menerima kemungkinan terkurung dalam balutan gaun yang menyesakkan dan membuatnya gerah itu. Apalagi untuk tidur. Cukup beberapa jam saja Amira pura-pura nyaman, selebihnya tidak akan!
Bahu Amira berjingkat kaget saat Adhiyaksa mengecupnya ringan. Entah kapan suaminya itu menurunkan lengan gaunnya sehingga berhasil mengekspos bahu polos Amira. Bisa Amira rasakan dinginnya udara AC di balik punggungnya yang kancingnya sudah terbuka penuh. Sekarang dia malah berpikir keras bagaimana menolak Adhiyaksa yang sedang menjalankan sentuhannya menjalari leher dan tengkuk Amira.
Namun, belum sempat dia menemukan cara, Adhiyaksa lebih dulu memutar tubuh Amira dan langsung meraup bibirnya. Lilitan lengan Adhiyaksa pada pinggangnya sangat erat dan posesif senada dengan tekanan telapak tangannya di tengkuk Amira. Mau tidak mau, Amira pun membalas cumbuan Adhiyaksa pada bibirnya.
Adhiyaksa memagut lembut bibir bawah Amira sebelum melepaskannya. Dia memandang wajah Amira yang sepenuhnya memerah sembari terengah. Tersenyum simpul, dia lantas menggendong Amira dan merebahkan istrinya itu di tengah-tengah ranjang, mengambil alih posisi sepasang angsa yang juga tengah bercumbu mesra.
Adhiyaksa menopang tubuh dengan kedua lengan kekarnya. Dia menatap Amira lamat seraya menyisir anak-anak rambut istrinya yang mencuat. Perlahan, dia merunduk hendak menyatukan napas keduanya kembali. Namun, tiba-tiba kedua tangan Amira menekan dada Adhiyaksa, menahan gerakan suaminya. Kedua alis Adhiyaksa bergerak naik, bertanya lewat isyarat.
"A-a-ku ...." Amira mendadak gugup dam takut hingga tak berasa air matanya merembes.
Adhiyaksa mengusap air mata Amira sembari mendesis, memberikan ketenangan. "Tidak usah takut. Aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Adhiyaksa agar Amira tetap tenang saat mereka akan melakukannya kali pertama. Sedikit banyak, Adhiyaksa tahu apa yang sedang Amira rasakan saat ini. Jadi, dia tak ingin Amira merasa dipaksa, melainkan merasa diinginkan dan dicinta.
Melihat Amira sudah sedikit tenang, dia kembali menipiskan jarak keduanya. Namun sialnya, Amira lagi-lagi mencegahnya menyentuh lebih jauh.
"Adhiyaksa ... a-aku sudah pernah melakukannya," aku Amira kemudian.
Untuk beberapa detik, Adhiyaksa tak mengeluarkan sahutan. Wajahnya begitu tenang dan tak tertebak. Manik matanya menatap Amira dalam. Jauh dalam benaknya, dia sedang bertarung dengan sedikit kekecewaan yang tiba-tiba memercik.
Mendapati dirinya bukanlah yang pertama bagi Amira, sedikit menggores egonya. Namun, dia juga berusaha mencoba melihat dari sudut pandang berbeda. Memangnya kenapa kalau Amira sudah pernah melakukannya? Toh saat ini wanita itu sudah menjadi miliknya yang sah di depan hukum dan agama. Jadi, biarlah itu menjadi bagian masa lalu Amira saja, bukan mmasa deoan mereka.
Kedua sudut bibir Adhiyaksa terangkat beberapa senti sebelum berkata, "Saat aku memutuskan menjadikanmu istriku, aku tidak peduli bagaimana masa lalumu. Aku tidak bisa mengubah apa pun tentang itu. Aku hanya bisa mengusahakan masa depan kita yang masih menjadi rahasia."
Usai berkata demikian, Adhiyaksa tak ingin lagi membuang waktu untuk melanjutkan diskusi. Dirinya sudah dalam keadaan sangat siap memberikan Amira nafkah batin. Sayang, Amira sepertinya tak demikian.
Istrinya itu kembali menahan dada Adhiyaksa lebih kuat dari sebelumnya. Bisa Adhiyaksa lihat bagaimana nanarnya tatapan Amira. Entah bagian mana yang salah sehingga membuat istrinya itu begitu sedih sekaligus ketakutan dalam satu waktu. Bukankah Adhiyaksa telah mengatakan mau menerima Amira bagaimanapun keadaannya?
"A-dhiyaksa ... to-tolong jangan lakukan. A-a-ku sedang hamil."
Bola mata Adhiyaksa melebar. Dia lekas bangkit dan menjauh. Sulutan gairah yang baru dicecapnya hirap sudah, berganti amarah. Dia sama sekali tak pernah membayangkan malam pengantinnya yang mendebarkan akan berubah mengerikan. Kenyataan macam apa yang baru menyambangi rumah tangga yang baru dibangunnya? Pondasinya bahkan belum kuat dan masih terasa basah. Akan tetapi, Tuhan sudah merobohkannya sejajar dengan tanah.
"Siapa?" tanyanya geram sembari memejamkan mata dan memijit pelipisnya, menekan rasa frustrasi yang membuncah.
Amira terisak dan duduk di tepi ranjang sambil menahan gaun bagian depannya agar tidak jatuh. Dia sadar bahwa apa yang baru saja dia ucapkan akan mengacaukan segalanya. Namun, dia tak sampai hati mencurangi Adhiyaksa lewat kehamilannya. Sementara itu, menjawab pertanyaan Adhiyaksa pun dia tak mampu.
Adhiyaksa mengembuskan napas berat. Dia berbalik membelakangi Amira. Kedua tangannya berada di pinggang. Napasnya berembus tak teratur, menandakan emosinya sedang berada di ubun-ubun. Tanpa sepatah kata pun, dia keluar kamar meninggalkan wanita yang tadi sempat dia janjikan bahagia, bukan kecewa. Kenyataannya, dia lah yang kali ini benar-benar merasa kecewa. Sangat.
Tbc
Kasihan ya Mas Adhy? Dia kudu piye?
Belon juga lepas perjaka. Udah gak jadi aja. Wkwkkwk
Sudah vote?
Coba tekan dulu bintangnya!
Sampai jumpa di lain kesempatan, Dears! ❤️
Big hug,
Vanilla Hara
04/03/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...