BREAK UP #11.5

2.2K 220 0
                                    

Malam, Dears! ^^

Hari ini Hara update cerita Mas Adhiyaksa lagi. Di bab ini, kalian jangan baper dan minta dinikahi, ya! Wkwkwkk

Seperti biasa ...

Budayakan vote sebelum membaca dan komentar di akhir cerita.

Terima kasih atas antusiasnya pada cerita ini. ❤

Happy reading! ^^

***

"Aku tidak mau menggantikan Kakak lagi besok menemani Amira cari printilan pernikahan. Capek, Kak. Astaga! Menikah ternyata seribet itu, ya?" keluh Abrisam sesaat setelah memasuki apartemen Adhiyaksa dan melihat kakaknya itu duduk santai di ruang tengah sembari menonton pertandingan bola.

Adhiyaksa tak menaruh atensinya sedikitpun pada Abrisam. Dia tetap asyik mengamati jalannya pertandingan dengan mimik muka serius.

Siang tadi, Amira menghubunginya dan memintanya menemani wanita itu memilih souvenir dan testing makanan di sebuah hotel. Adhiyaksa yang sejak awal memang berniat pulang awal, tentu tidak keberatan. Sayangnya, Ferdinan kembali membuatnya jengkel dengan mengabarkan berita kalau Mr. Hiroshi dari Jepang meminta pertemuan mereka dimajukan hari itu juga. Alhasil, dia terpaksa mengutus Abrisam untuk menggantikannya menemani Amira.

"Kak!" seru Abrisam diikuti sebuah decakan kasar. Dia mengempaskan bokongnya tepat di samping Adhiyaksa. Tanpa bertanya, dia juga meraih gelas Adhiyaksa yang berisi white wine dan meneguknya hingga tandas.

"Ada macaroni scottle di dapur. Tinggal panaskan saja kalau kamu mau makan," ujar Adhiyaksa sambil melirik Abrisaam sekilas. Adiknya itu kini bersandar sambil menengadah dengan mata terpejam.

"Harus macaroni scottle yang perlu dihangatkan banget nih bayarannya, Kak? Kakak tidak ada niatan memasakkanku steak, minimal? Aku sudah mengantar Kakak Ipar dengan selamat lho hari ini." Abrisam menuntut pembayaran yang lebih manusiawi pada Adhiyaksa.

Tanpa banyak bicara, Adhiyaksa langsung bangkit dan berjalan menjauh.

"Mau ke mana, Kak?" tegur Abrisam ketika merasakan pergerakan dari sisi kirinya. Manik matanya mengikuti pergerakan Adhiyaksa.

Adhiyaksa tak menyahut. Dia membuka freezer dan sibuk mengeluarkan daging. Tak lupa dia mengeluarkan jamur, asparagus, kentang, wortel, dan beberapa sayuran lain. Dia mencuci semua bahan, lalu menatanya di meja pantry dengan cekatan.

"Tenderloin steak with mushroom sauche, bake potatoes, and fresh salad, enough?" tanya Adhiyaksa sembari tetap fokus mengolah bahan-bahan yang ada.

Abrisam terperangah. Dia segera menghampiri Adhiyaksa dengan antusias berlebih. Dia tak menyangka kalau Kakaknya akan secepat itu mengabulkan celetukan asalnya beberapa saat lalu. Pasalnya, Adhiyaksa bukanlah orang yang akan menuruti permintaan orang lain jika tak memiliki keuntungan atau kepentingan apa pun. Terlebih jika Adhiyaksa sedang menikmati pertandingan bola tim favorite-nya. Sudah pasti Kakaknya itu tidak bisa diganggu gugat. Apalagi mendengar rengekan asal darinya.

"Kakak serius mau masakin aku? Saat Barcelona lagi tanding? Serius?" tanya Abrisam memastikan. Dia mengamati Adhiyaksa yang sedang menaburi daging dengan garam dan black pepper.

"Shut up and come here! Cut the potatoes, seasoning, and put into oven."

Abrisam kembali mengeluarkan decakan seperti tadi. Namun, tak urung dia pun bergegas melakukan apa yang Adhiyaksa perintahkan.

"How was she today?"

Abrisam yang sedang memotong kentang dengan serius sontak menoleh dengan glabela berkerut. "Maksud Kakak? Who?"

"Amira." Adhiyaksa sibuk membuat mushroom sauche sementara tangan yang lain dia gunakan untuk memanggang daging.

"Biasa saja. Seperti biasa. Dia irit senyum, minim ekspresi, dan sedikit terlihat lelah."

"Kamu ingin tingkat kematangan dagingnya seberapa?" Adhiyaksa tiba-tiba menanyakan hal lain.

"Huh?" Abrisam tak bisa mengikuti arus pembicaraan Adhiyaksa yang terlalu cepat berubah. Dia mengerjap, kemudian menjawab, "Medium rare."

Adhiyaksa mengangguk. "Okay. It's enough," gumamnya sembari mengangkat daging dari pemanggangan dan meniriskannya. Kemudian dia melanjutkan aktivitasnya membuat mushroom sauche. "Sometimes, I feel that she isn't too happy for our wedding. Dia tidak pernah terlihat antusias seperti wanita pada umumnya yang akan menikah. I catch a sadness in her eyes." Adhiyaksa menghela napas sejenak sehingga bahunya turun beberapa senti. "Apakah pernikahan ini benar untukku dan dia, Abrisam?"

Abrisam berbalik dan bersandar di pintu kulkas setelah memasukkan kentang ke dalam oven. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Sorot matanya begitu serius menyimak apa yang Adhiyaksa ceritakan.

"Benar atau tidak, pernikahan ini akan tetap berlangsung, bukan? Jika Kakak menemukan apa yang Kakak lihat dan rasa tentang Amira saat ini adalah kebenaran suatu hari nanti, maka sudah menjadi tugas Kakak untuk menghapus kesedihannya dan menggantinya dengan bahagia." Abrisam menjeda sejenak komentarnya. Saat ini, kedua pangkal alisnya hampir menyatu, menandakan betapa kerasnya dia berpikir.

Adhiyaksa mengangkat mushroom sauche-nya dan mulai sibuk plating. Kendati demikian, indera pendengarannya dia buka lebar-lebar untuk menangkap semua pendapat Abrisam akan apa yang telah dia utarakan.

"Memangnya, siapa sih yang tidak tertekan dengan pernikahan yang berawal dari perjodohan, terlebih atas dasar bisnis? Semua wanita pasti ingin menikah dengan pria yang dicintainya. Jadi, Kakak hanya harus berusaha lebih keras untuk menghadirkan rasa itu di antara kalian nantinya. Aku harap Kakak tidak akan pernah menyerah mengusahakannya. Karena jika Kakak menyerah, maka tidak akan ada lagi yang tersisa dari pernikahan kalian."

"I never gonna give up whatever I'm thinking before." Setelah menuangkan mushroom sauche ke atas steak-nya, dia meletakkan dua batang asparagus yang sebelumnya sudah dia tumis. Kemudian dia mulai memberikan dressing pada saladnya dengan olive oil dan sedikit perasan lemon.

"I'm happy to hear that, then!" balas Abrisam.

Suara denting oven menginterupsi pembicaraan keduanya. Abrisam langsung menggerakkan tungkai untuk mengeluarkan bake potatoes-nya dan memindahkannya ke piring yang sudah berisi steak. Dia menata bake potatoes tersebut di samping susunan wortel.

"Omong-omong, Kak, aku sudah memutuskan sesuatu." Dia kembali bersuara sembari mengangkat piring itu dan berjalan menuju meja makan. "Aku akan melanjutkan pendidikanku di Paris. Setelah resepsi pernikahan Kakak, aku berangkat. Aku sudah mengurus semua administrasinya beberapa waktu lalu."





Tbc

Apa pendapat kalian di bab ini?

Mas Adhiyaksa peka, ya?

Jangan lupa tekan bintangnya, lho ....

Sampai jumpa di lain kesempatan, Dears! ^^




Big hug,
Vanilla Hara
24/02/20

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang