BREAK UP #08

2.3K 250 12
                                    

Pagi, Dears! ^^

Setelah tiga hari alpa dari cerita ini, akhirnya Hara update lagi.

Jangan lupa vote dan komentar, ya ...

Jangan lupa putar mulmednya!

Happy reading! ^^

***

Adhiyaksa mengemudi dalam diam. Setelah perbincangan mereka dengan wedding organizer yang membutuhkan waktu tidak sebentar, dia akhirnya memutuskan untuk mengantar Amira pulang. Awalnya, Amira menolak dan keukeuh ingin menelepon sopir keluarganya untuk menjemput. Namun, bukan Adhiyaksa namanya kalau tidak bisa memaksa. Apalagi Adhiyaksa melihat wajah Amira yang perlahan memucat. Tentu dia tidak akan mengamini ide konyol Amira untuk pulang sendiri dengan taksi.

"Mampir di apotek sebentar ya, Mas!" Amira memecah keheningan di antara keduanya.

Adhiyaksa mengalihkan fokusnya sebentar, mengamati Amira yang sedang menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan. Matanya berkaca-kaca. Beberapa kali, calon istrinya itu berusaha menahan muntah.

"Aku antar ke rumah sakit," putus Adhiyaksa sepihak.

Dia yakin calon istrinya itu sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya yang memang putih pucat, kini terlihat bertambah pucat. Make up tipisnya tak lagi bisa menyamarkan kesakitan yang Amira coba tahan, membuat Adhiyaksa tak tega jika terus abai.

"Tidak per-" Ucapan Amira tak tergenapi karena lagi-lagi berusaja keras menahan isi perutnya agar tidak keluar.

Adhiyaksa spontan melajukan mobilnya semakin cepat. Tangan kirinya yang sedang tak memegang kemudi, mencoba membuka laci dashbord dan mencari-cari sesuatu. Setelah dapat, dia mengulurkannya pada Amira.

"Pakai roll on aroma terapi ini biar mualnya berkurang. Di dalam laci juga ada permen asam. Kamu bisa makan permen jika tetap bersikeras tidak ingin muntah. Atau kamu bisa muntahkan saja biar lega. Di sana juga ada plastik. Lakukan apa pun yang bisa membuatmu lebih baik."

Amira tertegun mendapat perhatian penuh dari seorang Adhiyaksa. Dia memberanikan diri melirik sembari meraih roll on yang Adhiyaksa sodorkan. Lewat sudut matanya, Amira bisa melihat gurat kekhawatiran dalam raut wajah Adhiyaksa yang datar, tetapi tak lagi sedatar biasanya. Atensi pria itu seeluruhnya tertuju pada jalanan seolah-olah sedang berpacu dengan waktu dan kecepatan.

"Antarkan aku pulang saja. Aku sudah lebih baik." Amira mendekatkan roll on aroma terapi pada hidungnya yang bangir dan menghidunya perlahan. "Terima kasih," cicitnya lirih.

Adhiyaksa tak berselera untuk menyahut. Dia memilih tak menanggapi penolakan Amira atau sekadar ucapan terima kasih wanita itu. Saat ini, dia tidak ingin beradu argumen ataupun dibantah. Setidaknya, jika Amira meemang sekeras kepala itu, maka Amira juga harus tahu sekeras kepala apa seorang Adhiyaksa. Maka, tanpa meminta persetujuan, Adhiyaksa tetap melarikan BMW hitamnya ke rumah saakit terdekat.

Dalam waktu lima belas menit, mereka akhirnya berada di parkiran rumah sakit kota. Adhiyaksa baru saja mematikan mesin mobilnya.

"Ayo turun! Aku temani untuk periksa. Bagaimanapun, kamu harus sehat. Tidak ada waktu untuk sakit, mengingat pernikahan kita yang tinggal menghitung hari."

Amira menggeleng. "Aku cuma butuh istirahat. Aku tidak apa-apa. Cuma kelelahan," tolaknya.

Adhiyaksa lantas menghela napas. Dia membuka seatbelt, lalu turun. Dia memutari bagian depan mobil dan membukakan Amira pintu dalam satu kali sentakan. "Turunlah! Aku tidak suka memaksa, tetapi kalau diperlukan, aku bisa lakukan. Aku akan menggendongmu kalau kamu tetap tidak mau turun."

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang