Long time no see, Dears!
Hara lagi sibuk banget ngurusin anak-anak yang PAS. Semoga kalian masih menunggu update Hara ini.
Langsung saja sudah, ya!
Budayakan vote sebelum membaca,
Biasakan komentar di akhir cerita.Happy reading! ^^
***
Adhiyaksa menyambut jabatan tangan rekan bisnis barunya dengan senyum sopan segaris. Dia masih berdiri sampai punggung rekan bisnisnya itu tak lagi terlihat. Kemudian dia kembali duduk sembari memijat sebelah pelipisnya.
Ini adalah meeting kelima Adhiyaksa hari ini. Entah sudah berapa cangkir kopi yang dia pesan selama meeting. Sekarang perutnya terasa penuh dan kembung. Belum lagi pening yang menghantam kepala bagian belakangnya. Tubuhnya ternyata sudah mengirimkan tanda bahwa dia telah mencapai limit dan segara meminta istirahat.
"Sebaiknya Bapak segera pulang dan beristirahat. Saya akan handle semua kontrak yang sudah kita dapatkan hari ini dan langsung mengubungi tim marketing and research product kita."
Adhiyaksa menoleh pada Ferdinan. Pria yang lima tahun lebih muda darinya itu sungguh bisa diandalkan. Adhiyaksa tak salah untuk membawa Ferdinan bersamanya meskipun agak sedikit terlambat karena Papa tidak serta merta setuju dengan permintaannya.
Namun, tidak jadi masalah besar. Kedatangan Ferdinan beberapa hari lalu sangat membantu pekerjaannya. Terlebih untuk meeting hari ini. Lihat saja! Tanpa perlu diperintah dan diarahkan, Ferdinan sudah tahu apa yang harus pria itu lakukan.
"Kita langsung ke perusahaan saja." Adhiyaksa menghela napas seraya berdiri. Dia merapikan jasnya sekilas. "Saya ingin memastikan sendiri semua hal. Para investor itu tidak menyuntikkan dananya dengan cuma-cuma. Mereka ingin imbalan lebih. Jadi, saya yang akan langsung turun tangan dalam setiap prosesnya sebelum produk fashion terbaru kita launching nanti."
Ferdinan yang juga ikut berdiri berusaha menghalau langkah Adhiyaksa. "Maaf sebelumnya, Pak. Ibu Amira beberapa kali menelepon Bapak dua jam lalu. Tuan Abrisam juga menghubungi Bapak berkali-kali," ujarnya sembari mengulurkan ponsel Adhiyaksa yang sebelumnya memang dititipkan pada Ferdinan.
Glabela Adhiyaksa mengerut. Dia menyambar ponselnya dan mulai mengecek log panggilannya. Benar apa yang Ferdinan katakan. Amira sempat menghubunginya tiga kali pukul empat tadi. Sementara nomor Abrisam menjadi deretan terakhir yang menghiasi log panggilannya bahkan sampai beberapa menit lalu.
Adhiyaksa mencoba menghubungi Amira kembali, tetapi tidak diangkat. Dia lantas memberikan isyarat pada Ferdinan agar mengikutinya. Keduanya pun berjalan keluar restoran hotel.
"Ferdinan, kamu ikut mobil saya saja!" perintah Adhiyaksa tanpa menurunkan tangan kanannya yang masih berusaha menghubungi Amira, sementara tangan kirinya mengangsurkan kunci mobil pada Ferdinan. Ferdinan pun bergegas mengambil mobil, meninggalkan Adhiyaksa di lobi.
Baru saja Adhiyaksa berniat mendial kembali nomor Amira, satu panggilan masuk dari Abrisam. Adhiyaksa berdecak, tetapi tak urung mengangkatnya jua.
"Astaga, Kak! Akhirnya Kakak angkat juga. Kakak di mana? Aku menelepon Kakak sejak tadi. Aku juga menelepon kantor, tapi mereka bilang Kakak sama sekali belum datang ke sana," cecar Abrisam sedetik setelah teleponnya Adhiyaksa angkat.
Adhiyaksa mengusap dahinya sembari mengembuskan napas lelah. "Ada apa?" tanyanya to the point.
Dibanding mengkhawatirkan Abrisam, dia lebih ingin tahu apa yang sedang terjadi pada Amira. Wanita yang sudah menjadi istrinya itu tidak akan repot-repot menghubunginya jika tidak ada sesuatu yang terjadi. Apalagi sekarang Adhiyaksa tak lagi bisa menguhubungi Amira balik. Hal itu sukses menambah pening kepalanya yang serasa mau pecah.
"Amira masuk rumah sakit. Dia pendarahan karena terpeleset di kamar mandi."
Satu umpatan lolos dari bibir Adhiyaksa. Mata yang tadinya sayu karena kantuk, kini terbuka lebar. Dia tak menyana kalau Amira bisa seceroboh itu hanya dalam hitungan jam dia meninggalkannya untuk tinggal terpisah. Padahal sebelumnya, Amira adalah wanita paling rapi dan teliti saat di rumah sekalipun dia tak pulang seperti beberapa hari lalu.
"Kak–"
"Kirimkan alamatnya. Aku segera ke sana," putus Adhiyaksa bertepatan dengan kedatangan Ferdinan. Dia langsung melompat ke dalam mobil dan menyebutkan alamat sebuah rumah sakit yang Abrisam kirimkan.
Tanpa bertanya, Ferdinan memacu mobil itu secepat yang dia mampu. Beberapa kali dia melirik spion tengah, mengamati wajah Adhiyaksa yang sangat kusut. Namun, dia tak bisa menyarankan apa pun.
Tak lama kemudian, mobil mereka memasuki pelataran sebuah rumah sakit. Kedua kaki Adhiyaksa bergerak tak tentu, tak sabar untuk turun.
Sedetik setelah mobil berhenti, tangan Adhiyaksa bergerak cepat membuka pintu mobil. Akan tetapi, dia menoleh sebentar pada Ferdinan dan berkata, "Ferdinan, saya serahkan pekerjaan selanjutnya padamu. Jika ada kendala atau sesuatu yang urgent, segera hubungi saya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan?"
"Baik, Pak. Saya mengerti."
"Terima kasih," tutur Adhiyaksa sebelum turun.
Kaki jenjangnya bergerak tergesa memasuki lobi rumah sakit. Dia langsung menghampiri bagian administrasi untuk menanyakan di mana Amira dirawat. Namun, langkahnya tercegat saat Abrisam memanggil namanya dari arah IGD.
"Kak, Amira–"
"Pulanglah! Amira biar aku yang jaga."
"Tapi, Kak. Aku–"
Adhiyaksa yang hendak melewati Abrisam berhenti. Dia menggerakkan kepalanya ke samping kiri, menatap Abrisam dengan sorot tajam khas miliknya.
Abrisam mengangkat kedua tangannya, menyerah. Oke ... Oke. Aku balik sekarang," ucapnya seraya mundur beberapa langkah. Kemudian dia menyerahkan ponsel Amira pada Adhiyaksa.
Melihat Adhiyaksa akan memalingkan wajahnya kembali, Abrisam kembali berkata, "Congrats, Kak! Aku senang karena tak lama lagi akan menjadi uncle. Tolong jaga Amira dan jabang keponakanku. Dan aku harap Kakak lebih memerhatikan istri Kakak daripada pekerjaan. Aku tahu Kakak pasti akan menjadi suami dan ayah terbaik."
Adhiyaksa mematung untuk sejenak. Ekspresi senang Abrisam karena kehamilan Amira menjadi beban tersendiri baginya. Dari awal dia tahu kalau adiknya itu sangat menyukai dan menghormati Amira sebagai iparnya. Abrisam menjadi satu-satunya orang yang begitu bersemangat dan tulus mendoakan pernikahannya. Tanpa embel-embel bisnis atau keuntungan semata. Cukup demi kebahagiaan Adhiyaksa saja.
Sebenarnya, Adhiyaksa tak sampai hati jika harus mencurangi Abrisam, tetapi juga tak memiliki kuasa untuk mengatakan kebenaran yang ada karena telah terikat janji pada Amira. Posisinya saat ini bagai berjalan di antara dua mata pedang. Salah melangkah, jalannya akan timpang sebelah. Dan itu tidak akan baik bagi dirinya dan Amira.
Baru saja Adhiyaksa memutar badan untuk mengucapkan terima kasih, punggung Abrisam sudah terlihat menjauh. Seluruh udara dalam paru-paru Adhiyaksa berembus keluar. Setidaknya, ketidaktahuan Abrisam tidak menjadikan segalanya semakin rumit.
Adhiyaksa menelisik satu per satu bilik IGD. Dia berhenti saat melihat beberapa suster sedang mendorong sebuah brankar. Fokusnya langsung mengarah pada Amira yang sedang tak sadarkan diri di atas brankar tersebut.
"Où allez-vous l'emmener?" cegah Adhiyaksa pada salah satu suster.
Tbc
*où allez-vous l'emmener : Ke mana kamu akan membawanya?
Masih ada yang baca cerita ini kah?
Coba absen di sini dulu kalian dari kota mana saja?
Kalian dilarang buka bab selanjutnya kalau belum vote dan komen, ya!
See you!
Big hug,
Vanilla Hara
13/12/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
Ficción GeneralPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...