BREAK UP #26.5

1.5K 217 31
                                    

Malam, Dears! ^^

Sudah siap baca bab ini?

Mari kita lihat bagaimana Adhiyaksa mengalihkan Kissy tanpa effort berlebih.

Budayakan vote sebelum baca,
Biasakan komentar di akhir cerita.

Happy reading!



***







Mati kutu bukanlah gaya Adhiyaksa. Sejak kecil dia dididik untuk mampu menghadapi hal tersulit apa pun. Jika menemui jalan buntu, maka dia harus secerdik mungkin menemukan jalan tikus. Jadi, tidak heran kalau Adhiyaksa masih bersikap biasa saja ketika Kissy menanyakan hal yang sebenarnya tidak mungkin dia jawab dengan jujur.

Berdeham satu kali, Adhiyaksa meneruskan niatnya menggeser pintu kaca dan melangkah menuju balkon. Embusan angin pagi sontak membelai garis-garis wajahnya sehingga dia memejam sebentar. Saat manik matanya kembali muncul, dia langsung tertarik dengan kursi tidur yang diletakkan memanjang di sisi kanan balkon.

Sebelum melangkah lebih jauh, dia lebih dulu memutar badan, menantang mata bulat Kissy yang tak pernah melepas pandang. Kedua tangannya tersimpan dalam saku celana. Sekilas meskipun samar, dia bisa melihat semburat merah muda di pipi Kissy yang perlahan menjalar. Apalagi angin seperti sengaja berembus ke dalam, memainkan gorden putih seolah-olah melambai gemulai.

"Aku lapar," cetus Adhiyaksa tiba-tiba. Alih-alih menjawab pertanyaan Kissy sebelumnya, dia memilih dua kata tersebut sebagai pengalihan. Namun, tidak sepenuhnya karena perutnya benar-benar sedang meronta meminta beberapa asupan kalori.

Kissy tekersiap dan mengerjap. Dia mendadak linglung. Pipinya terasa panas. Sungguh, saat melihat Adhiyaksa berbalik menghadapnya, semua panorama yang menjadi latar pria itu serba mendukung. Matahari yang mulai menyembul melalui sela-sela bangunan tinggi membiaskan berkas-berkas cahayanya di balik punggung pria itu. Dalam tangkapan lensa mata Kissy, Adhiyaksa bak malaikat yang baru saja turun. Tak peduli dalam balutan hitam atau putih, Adhiyaksa menawan rasa kagum.

"Kissy."

"Huh?" Kissy mulai mengumpulkan kesadaran kala gendang telinganya menangkap namanya sendiri.

Adhiyaksa menggerakkan sebelah alisnya naik. "Aku memanggilmu tiga kali."

Kissy meringis canggung sembari sibuk merutuk kekonyolannya beberapa detik lalu. "Maaf. Aku baru tidur menjelang pukul tiga pagi. Dan aku ... masih mengantuk. Jadi, aku kurang begitu menyimakmu tadi," kilahnya sembari memoles bibirnya dengan senyum segaris. "Kamu bilang apa tadi?"

Adhiyaksa menghela napas seraya memutar badan. Dia mulai berjalan ke arah kursi tidur, mengabaikan Kissy. "Lupakan. Tidurlah kalau kamu mengantuk. Biar aku buat sarapanku sendiri nanti"

Walaupun tidak keras, Kissy masih bisa mendengar ucapan Adhiyaksa. Seketika dia memangkas jarak dengan terburu-buru. Sesampainya di ambang pintu, dia melihat Adhiyaksa yang sedang duduk hendak merebahkan diri.

"Ingin aku buatkan sesuatu?"

Adhiyaksa mengurungkan niatnya untuk berbaring. Dia menoleh, lalu mengangguk. "Tapi kalau kamu mengantuk, aku bisa–"

"Akan aku buatkan. Aku tidak apa-apa. Aku bisa tidur nanti karena hari ini aku tidak ada jadwal apa pun selain temanku yang akan mampir sebentar untuk mengambil beberapa tugas yang sudah aku kejakan. Kamu bisa menunggu sebentar, 'kan?" potong Kissy.

Sejujurnya, Adhiyaksa tak mengerti kenapa Kissy harus menjabarkan banyak hal yang tidak perlu. Seperti tadi, Kissy mendadak memberitahukan jadwal tidurnya yang terlambat, padahal Adhiyaksa tidak menanyakannya. Sekarang, gadis itu malah membicarakan tentang jadwal, teman, dan tugas miliknya yang tidak ada kolerasinya dengan perut lapar Adhiyaksa.

Belum sempat Adhiyaksa menjawab, Kissy lebih dulu bergegas masuk sembari berteriak, "Tiga puluh menit! Bersantailah selama aku membuat dan menyiapkannya."

Adhiyaksa menunduk bersamaan dengan bibirnya yang menggantungkan senyum. "Ternyata dia benar-benar tidak mendengarku. Aku bahkan bisa membuatnya lebih cepat dari itu. Kenapa dia malah meminta waktu tiga puluh menit cuma untuk membuat secangkir kopi?" gumamnya heran diselipi nada geli. Akan tetapi, dia juga tak ingin mencegah Kissy. Adhiyaksa memilih merebahkan diri sembari menindih matanya yang terpejam dengan lengan kanan.

Lima menit kemudian, aroma tumisan bawang menguar dalam indera penciumannya. Lama-kelamaan, aroma itu semakin pekat, pertanda bahwa tumisan bawang itu harus segera diangkat. Dia ingin memberitahukan itu pada Kissy, tetapi matanya tak bisa diajak kompromi. Entah mengapa, kelopak matanya malah memberat, memaksa Adhiyaksa memasuki alam mimpi.

Alhasil, dia kalah. Dia tak lagi memedulikan aroma yang Kissy timbulkan dari dapur. Bukan lagi urusan perut, satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah tidur.

Tidak biasanya Adhiyaksa takluk pada kantuk. Apalagi dengan latar dentingan heboh peralatan dapur. Namun, alih-alih terganggu, kesadarannya semakin menurun. Di sisa kesadarannya, dia hanya ingat bahwa sebelum makan siang nanti, dia harus bangun. Ada meeting penting yang tidak mungkin dia undur.




Tbc

Nah, lho! Malah bobok Mas-nya.

Adhiyaksa bilang lapar, tapi sesajennya minta kopi. Mungkinkah kebiasaannya ini bakal berubah setelah tinggal sama Kissy?

Mayan tinggal sama Kissy ada yang masakin, 'kan?

Yang sudah baca COFFEE BREAK bakal tahu apa yang akan terjadi kalau Adhy sama Kissy tinggal bareng. Siapa yang bakal menguntungkan siapa. Wkwkwkk

Komentar yang banyak, ya!

Vote jangan lupa!

Ah, Hara bawel deh.

See you!








Big hug,
Vanilla Hara
28/11/20

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang