Siang, Dears! ^^
Hari ini Hara update Mas Adhiyaksa dulu, ya ...
Tolong divote sebelum lanjut baca, bisa komentar setelah selesai baca.
Happy reading!
***
Amira melihat Abrisam melalui pantulan kaca rias. Calon adik iparnya itu berjalan menghampirinya sembari membawa satu kotak hitam besar. Senyum lebar menggantung di bibir tebal pria itu dengan mimik antusias.
"Ami, Kakak punya sesuatu untukmu," selorohnya sesaat setelah berada di sisi kiri Amira. Abrisam mengulurkan kotak hitam yang dia bawa.
"Apa ini?" Amira bertanya, tak urung membuka kotak di pangkuannya.
"Surprise!" pekik Abrisam penuh semangat.
Glabela Amira mengernyit. Dia menatap Abrisam bingung. "Gaun pengantin? Untuk apa?"
Abrisam tersenyum semringah. "Tentu saja untukmu. Itu gaun yang kamu inginkan, bukan? Kakak membawakannya untukmu. Dia juga berpesan agar kamu segera berganti pakaian karena kita sudah tidak punya banyak waktu lagi, Kakak Ipar."
"Tapi, aku sudah punya gaun. Aku tidak mau ganti gaun lagi." Amira hendak membantah.
Abrisam menggeleng. Dia menipiskan bibir dan memasang mimik serius. "Boleh aku sarankan sesuatu?" tanya Abrisam yang sama sekali tak membutuhkan jawaban. Karena di detik selanjutnya, dia lantas berkata, "Sebaiknya kamu ikuti saja apa yang aku katakan tadi. Kalau Kakak tahu kamu menolak gaun itu, dia bisa ke sini dan memasangkan sendiri gaun itu pada ..." Abrisam dengan lancangnya menelisik lekuk tubuh Amira lewat sorot mata. "Tapi semua tergantung padamu. Aku sudah beri tahu risikonya. Kamu tahu kalau Adhiyaksa Prasaja bukanlah orang yang bisa dibantah, bukan?" lanjutnya dengan senyum miring dan sebelah alis terangkat naik.
Amira mengembuskan napasnya lelah. Belum juga menikah dan menyandang nama Prasaja di belakang namanya, rasanya dia sudah hampir mati dengan belitan tali kekang tak kasat mata di lehernya. Entah bagaimana hidupnya besok atau bertahun-tahun kemudian. Amira bahkan tak sanggup sekadar membayangkannya.
"Aku akan ganti. Bisa kamu keluar?" putus Amira kemudian. Dia tak ingin memperpanjang dan memperumit masalah yang sudah ada. Terlebih perdebatannya dengan Abrisam terjadi di depan Mama dan Ferdinan. Sejujurnya, dia tidak suka menarik perhatian umum.
Abrisam mengangguk. "Oke. Aku dan Ferdinan akan tunggu di luar. Tante Widiya akan membantumu."
"Aku bisa ganti sendiri. Suruh semuanya keluar. Tanpa terkecuali." Amira menatap Abrisam selama beberapa detik. "Tolong," pintanya lirih.
Abrisam terlihat ragu. Dia tidak khawatir Amira akan kabur. Dia bisa pastikan hal itu. Akan tetapi, dia tak yakin kalau Amira bisa mengganti gaunnya sendiri. Pasalnya, di kantor tadi Tere sudah mewanti-wanti agar gaun itu dipakai dengan hati-hati dengan banyak kesabaran. Designer-nya menitipkan pesan kalau ada lebih dari dua puluh kancing bungkus kecil yang ada di sepanjang punggung hingga mencapai batas pinggang.
Abrisam tak mengiyakan permohonan Amira. Dia memilih menghampiri Widiya dan berkata, "Tolong bantu Amira, Tante. Gaunnya agak sedikit rumit." Dia menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya.
Widiya tersenyum dan mengangguk paham. "Tante akan membantunya. Tidak perlu khawatir."
Abrisam pun mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar meninggalkan ibu dan anak itu. Sebenarnya, Abrisam penasaran kenapa Amira bersikap dingin pada Widiya seolah-olah ingin menghindari mamanya sendiri. Dari yang bisa dia curi dengar sedikit tadi sebelum mengetuk pintu, Amira dan Widiya terdengar sedang beradu argumen. Sayangnya, Abrisam tidak paham dan tidak bisa menemukan benang merah tentang apa yang sedang keduanya perdebatkan.
Di dalam kamar, Amira terperangah melihat desain gaun pengantin yang Adhiyaksa berikan. Gaun pengantin model duyung itu terlihat sangat indah dengan brokat serta renda yang indah mengelilingi bagian dada dan lengan atasnya. Sedangkan di bagian belakang menjalar kancing bungkus kecil yang terbilang tak sedikit. Pantas saja Abrisam ngotot membiarkan Mama membantunya.
"Sini, Mama bantu kamu," ucap Widiya setelah Amira mengganti gaunnya dengan cepat.
Amira memutar tubuhnya membelakangi Widiya. Dia bisa melihat betapa telaten dan sangat hati-hatinya Widiya mengancing setiap inci bagian belakang gaunnya. Berbeda sekali dengan Widiya yang dulu. Mamanya itu nyaris tidak mau tahu-menahu selain hadir dan melihat semua acara berlangsung.
"Sudah." Kedua sudut bibir Widiya tertarik naik. "Kamu sangat cantik dengan gaun ini, Sayang. Adhiyaksa benar-benar tahu bagaiman memperlakukan putri Mama dengan layak. Tidak seperti-"
"Bisa Mama keluar sekarang? Terima kasih bantuannya. Aku ingin sendiri. Sepertinya aku lupa susunan kalimat sumpah pernikahanku," tukas Amira cepat.
Tak ingin berkonfrontasi lebih lanjut, Widiya memilih menuruti keinginan sang putri. Dia meraih clutch hitam yang tadi dia letakkan di ujung ranjang. "Mama cuma berharap kalu kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan segalanya. Mama sayang kamu, Amira. Mama doakan kamu selalu bahagia," ujar Widiya tulus.
Amira bergeming. Dia tak berselera menimpali ucapan Widiya selain menatap punggung wanita itu menghilang di balik pintu. Kemudian dia berbalik dan melihat pantulan dirinya pada kaca rias. Tubuhnya terbalut sempurna dan berlekuk di bagian yang tepat.
Diamatinya sosok di kaca rias itu secara saksama dari ujung rambut samapai ujung kaki. Namun, saat matanya mengarah pada bagian yang menjadi penguatnya dalam menghadapi semua prahara, dia tak kuasa menyentuh bagian itu. Sontak matanya terasa panas dan berembun.
"Fair feathers make fair fowls."
Amira tersentak mendengar suara yang familier di telinganya. Dia mendongak dan melihat Prasaja berdiri menantangnya lewat kaca rias. Pria itu menyunggingkan senyum yang jauh dari kata ramah. Melihat hal itu, Amira memilih bungkam.
"Apa yang Adhiyaksa lakukan benar-benar di luar prediksiku." Prasaja mendekat dan berdiri dua langkah di belakang Amira. "Dia berhasil mengubah itik buruk rupa menjadi seekor angsa yang cantik jelita." Dia mencondongkan sedikit badannya dan berbisik, "Sayangnya, dia tidak tahu kalau sekalinya itik, tetap akan menjadi itik. Tidak akan pernah berubah menjadi angsa sekalipun memakai gaun yang indah."
Tiba-tiba Prasaja tertawa dan melangkah mundur. Namun, beberapa detik kemudian bibirnya menipis saat berkata, "Aku tidak peduli bagaimana respon Adhiyaksa saat mengetahui kebenaran tentangmu. Hanya saja, ingatlah apa yang aku katakan ini baik-baik! Apa pun yang terjadi nanti, aku tidak ingin mendengar berita gugatan cerai, baik darimu atau dari Adhiyaksa. Jika itu terjadi, kamu tahu apa yang bisa aku lakukan pada keluargamu atau pada seseorang yang coba kamu lindungi itu kan, Menantu?" Seutas senyum bengis menghiasi bibir Prasaja, membuat tubuh Amira bergetar saat rasa dingin perlahan menjalar.
Tbc
Hmmm ... Kurang beberapa part lagi kita bakal ketemu Mbak Kissy. Haduuh, Hara deg-degan.
Kalian gimana?
Sudah vote? Tolong yang belum vote segera nge-vote dulu biar Hara semangat.
Sampai jumpa di lain kesempatan! ❤️
Big hug,
Vanilla Hara
02/03/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...