Pagi, Dears! ^^
Maaf kemarin libur update. Hara sudah tulis kok sebenarnya, tapi di kertas. Dan kertanya ilang. So, Hara harus nulis lagi lewat ponsel dan bisa update pagi ini.
Bab ini adalah bab terakhir Adhiyaksa di Indonesia dan melakkukan konfrontasi langsung dengan Prasaja. Bab depan, kita akan jalan-jalan ke Paris mempertemukan Adhiyaksa sama jodohnya. Haha
Jangan lupa vote sebelum membaca dan komentar di akhir cerita, ya...
Happy reading!
***
"Berita apa ini?" Prasaja melempar surat kabar yang membuatnya geram.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan surat kabar tersebut. Foto di headline utama menampilkan bagaimana mesranya Adhiyaksa dengan Amira saat menggelar konferensi pers. Senyum lebar dan tatapan saling memuja menghiasi wajah keduanya. Namun, ada beberapa pernyataan Adhiyaksa yang sukses memancing amarah Prasaja hingga pria paruh baya itu langsung meminta Adhiyaksa menemuinya sesaat setelah surat kabar itu beredar.
Adhiyaksa tampak tenang seperti biasa. Dia berdiri sejengkal dati meja kerja sang Papa tanpa rasa takut. Diberikannya lirikan sekilas pda surat kabar yang baru saja Prasaja empaskan ke atas meja.
"Aku hanya mengatakan apa yang akan aku lakukan ke depannya. Tidak ada yang salah dengan itu, Pa," jawab Adhiyaksa tak gentar meskipun dia tahu kalau seorang Prasaja tidak akan mudah meloloskannya tanpa curiga.
Prasaja berkacak pinggang. Kemudian tangan kanannya naik menyentuh pangkal alis dan memberikan pijatan ringan. Kata "tidak salah" yang Adhiyaksa utarakan memang benar. Akan tetapi, dia tidak mungkin mengiyakan keinginan putra sulungnya itu. Terlebih saat perusahaan di Indonesia sedang berkembang sangat pesat seperti sekarang.
"Apa yang aku sampaikan ke media bukanlah hal yang luput dari pertimbanganku, Pa." Adhiyaksa menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diminta. Kaki jenjangnya dia lipat sembari menikmati wajah kelimpungan sang Papa. Perasaannya sedikit terhibur seiring kecewanya yang perlahan mengabur.
Prasaja mendengkus tak suka. Dia berbalik dan mengempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. "Tapi tidak dengan perusahaan di Paris. Cabang di sana sudah diagendakan untuk ditutup karena tak menyumbangkan hasil yang mumpuni." Prasaja terdiam sejenak. Dia menelisik manik mata Adhiyaksa lebih jauh, mencari maksud tertentu pria itu. "Jadi, apa tujuanmu sebenarnya?" tembak Prasaja langsung.
Adhiyaksa menatap Prasaja lamat. Terlihat jelas gurat penuaan pada wajah sang Papa yang dulu sangat dia puja. Sejenak terlintas pemikiran, tidakkah Papanya itu lelah menimbun dan terus-menerus memikirkan harta? Tidakkah Papanya itu ingin hidup damai di hari tua tanpa menimpakan masalah dengan menyeret Adhiyaksa dalam neraka? Tidakkah Papanya itu mulai belajar melembutkan hati daripada terus berbuat keji?
Namun, sepersekian detik kemudian pemikiran waras Adhiyaksa kembali. Dia tahu betul bagaimana watak seorang Prasaja. Jadi, dia sudah menyiapkan alasan sempurna demi membawa Amira jauh dari Indonesia. Ini adalah satu-satunya cara agar Prasaja atau sang mertua tak lagi menyentuh istrinya, terlebih bayi yang sedang ada dalam kandungan Amira.
Jika sampai orangtua keji itu tahu tentang keadaan Amira, maka besar kemungkinan mereka akan meminta Amira menggugurkan janinnya. Sementara Adhiyaksa tak menginginkan hal buruk itu terjadi pada Amira. Bagaimanapun, Adhiyaksa masih memiliki belas kasih ketika mengetahui semua fakta yang ada sekalipun dirinya sudah ditipu mentah-mentah.
"Aku hanya ingin meningkatkan kemampuan bisnisku di sana. Aku tahu cabang perusahaan itu hendak ditutup. Oleh karena itu, aku mempelajari semua permasalahan yang ada di sana dan mempertimbangkannya dengan kemampuan yang aku punya. Dan aku memiliki keyakinan kalau cabang perusahaan tersebut masih bisa aku selamatkan dan berkembang sebagaimana mestinya." Adhiyaksa menjeda penjelasannya sejenak. Diamatinya wajah serius Prasaja saat menyimak. "Lagi pula, aku ingin membawa Amira bulan madu di sana."
Prasaja mengangguk mengerti, tetapi tak langsung mengiyakan. Mimik wajahnya menyiratkan sebersit keraguan. "Papa hargai niatmu itu. Tapi, bukan hal mudah mengirimmu ke sana, sementara kamu sedang menjabat sebagai pimpinan tertinggi di Prasaja Corp. Indonesia. Memulihkan perusahaan sekarat itu bukanlah hal mudah. Pasti membutuhkan waktu berbulan-bukan, bahkan bertahun-tahun. Jika kamu mengurus perusahaan itu, lantas siapa yang akan mengutus perusahaan di sini? Abrisam sudah kamu kirim ke luar negeri untuk sekolah lagi, bukan?"
"Papa bisa meng-handle perusahaan di sini untuk sementara waktu," sambar Adhiyaksa.
"Jadi, kamu meminta Papa kembali menjabat?"
Adhiyaksa mengangguk seraya berkata, "Ya. Tidak akan sulit bagi Papa meng-handle segalanya di sini. Papa lebih tahu medan di sini, bukan? Aku berjanji akan kembali ke sini secepat mungkin setelah perusahaan di Paris pulih. Aku hanya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berjudi dalam bisnis. Bagiku, perusahaan di sana masih memiliki potensi yang bagus ke depannya. Bukankah Papa yang mengajarkanku untuk berani mengambil segaa risiko demi meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dalam bisnis?"
Adhiyaksa mendesah pasrah dan menyerah. Semua yang Adhiyaksa katakan benar karena dirinya lah yang mengajarkan itu pada sang putra. Dia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri. Lagi pula, tidak ada salahnya dia memberikan kesempatan pada Adhiyaksa untuk membuktikan.
"Baiklah. Kapan kamu berangkat?" tanya Prasaja.
"Lusa. Lusa kami akan berangkat ke Paris," jawab Adhiyaksa penuh kemenangan.
Tbc
Mas Adhiyaksa mau terbang. Ada yang mau titip wejangan?
Sudah vote?
Ramaikan cerita ini, ya ... Karena sebentar lagi bakal masuk scene yang manis-manis mulu. Hehe
Sampai jumpa di lain kesempatan! ❤️
Big hug,
Vanilla Hara
09/03/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...