Selamat dini hari, Dears! ^^
Baru kali ini Hara update-nya tengah malam, ya. Hehehe
Budayakan vote sebelum membaca dan komentar di akhir cerita, ya!
Thank you, ❤
And happy reading ...
***
Sembilan hari adalah waktu tercepat yang Adhiyaksa rasakan kali ini. Biasanya, dia tak pernah menghitung hari tersisa saat melakukan perjalanan bisnis. Namun, kali ini berbeda. Hari pernikahannya datang secepat yang tak dia duga.
Adhiyaksa harus mengakui kalau estimasinya salah. Gaun yang sangat dia ingin persembahkan untuk Amira tak kunjung datang meskipun Ferdinan sudah berulang kali memastikan kalau gaun tersebut sedang dalam pengiriman. Padahal pernikahannya akan berlangsung dalam hitungan jam lagi.
Kini dia sedang berdiri di depan cermin di salah satu kamar hotel yang sengaja dia sewa, bersiap-siap menjalani pemberkatan di depan pendeta. Adhiyaksa menghela napas dan memandang gusar ke arah cermin yang menampilkan tubuhnya dalam balutan tuxedo hitam. Terselip rasa bersalah karena tidak mampu mengabulkan keinginan kecil Amira.
"Apa yang sedang Kakak pikirkan?" tanya Abrisam. Pria itu sedari tadi mengamati raut gusar Adhiyaksa yang sangat kentara.
Adhiyaksa menoleh ke arah ranjang yang sedang Abrisam duduki. "Something wrong."
Abrisam tak berkomentar. Dia hanya menaikkan kedua alisnya, tanda meminta penjelasan lebih lanjut.
"Ada gaun yang sangat Amira inginkan di pernikahan ini. Tapi, aku gagal membawakan gaun itu padanya. Ferdinan berkali-kali mengecek proses pengirimannya dan berkomunikasi langsung dengan pihak ekspedisi. But ...." Adhiyaksa mengendikkan kedua bahunya dembari menipiskan bibir. "Sampai detik ini, gaun itu tidak tahu ada di mana."
Abrisam menepuk kedua pahanya, lantas berdiri. "Aku akan mengeceknya. Di mana Ferdinan sekarang?"
"Tadi masih di luar sambil mengomel pada pihak ekspedisi lewat telepon."
"Oke." Abrisam maju satu langkah. Dia menepuk pundak kanan Adhiyaksa sebanyak dua kali seraya berkata, "Jangan khawatirkan apa pun. Aku akan memeriksa dan memastikan sendiri sampai Kakak Ipar mengenakan gaun itu."
"Abi," panggil Adhiyaksa kala tangan Abrisam sudah mencapai kenop pintu. Dia memutar tungkai sedikit sehingga tatapan keduanya bertemu. Adhiyaksa berniat untuk mencegah Abrisam, tetapi keduanya malah berakhir dengan saling bungkam.
"One hour. Gimme one hour for bringing the gown," pinta Abrisam penuh keyakinan, lantas bergegas pergi tanpa menghiraukan sahutan Adhiyaksa.
Selepas kepergian Abrisam, Adhiyaksa berjalan menuju jendela kamar. Dia menatap cakrawala dari balik kaca, membuat sinar keemasan jatuh tepat di retinanya. Kedua tangannya tersimpan dalam saku celana. Dia diam terpaku menyambut puncak senja.
Harusnya dia bahagia di hari paling bersejarah hidupnya. Namun, yang Adhiyaksa rasakan hanyalah rasa hambar. Dia merasa ada yang kurang. Semakin dia mencari kekurangan itu, dia malah sampai pada pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan.
Salah atau benarkah pernikahan yang akan dia dan Amira jalani ini? Mampukah dia berjudi dengan takdir dan mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam ikatan pernikahan yang tak memiliki pondasi kuat selain bisnis? Mampukah dia membahagiakan Amira dan menghadirkan cinta di antara mereka? Lantas bagaimana kalau pada akhirnya rasa mereka tak bermuara pada tujuan yang sama?
"Kak! We got it!"
Adhiyaksa terlonjak dan berbalik dengan cepat kala pintu kamarnya terbuka keras. Dia melihat Abrisam dan Ferdinan menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Masing-masing membawa sebuah kotak besar.
"Kami mengambilnya di kantor, Pak, sesuai alamat yang kita berikan. Beruntung, adik Bapak menyusul tepat waktu hingga kami bisa sampai di sini secepat mungkin." Ferdinan menjelaskan apa yang terjadi.
Adhiyaksa tak menyahut. Dia berjalan mendekat ke sisi ranjang di mana dua kotak besar yang Ferdinan dan Abrisam bawa sudah tergeletak di sana. Adhiyaksa sedikit membungkuk untuk membuka salah satunya dan mendapati sebuah suits berwarna navy. Lalu dia hendak membuka kotak yang satu lagi, tetapi Ferdinan lebih dulu mendahuluinya. Seketika senyum tipisnya terbit melihat gaun yang sangat indah terlipat rapi di dalamnya.
"Aku dan Ferdinan akan membawa gaun ini ke kamar Amira." Abrisam mengecek arlojinya. "Masih ada waktu tiga puluh menit," lanjutnya.
Adhiyaksa mengangguk dan melayangkan tatapan sarat akan perintah kepada Ferdinan. Seolah-olah mengerti, sekretarisnya itu segera merapikan kembali kotak yang terbuka dan mengangkatnya. Usai mengangguk sopan sekilas, Ferdinan keluar kamar diikuti Abrisam.
Tangan kanan Adhiyaksa meraih suits berwarna navy itu, tetapi ada secarik kertas kecil yang terjatuh lewat sela lipatannya. Dia menunduk untuk mengambil kertas tersebut. Diputarnya sebentar kertas itu sebelum membacanya secara saksama.
As you are going to wear your wedding gown, may God bless your love with loads of happy and memorable time.
Regrads,
Kissy Azura FassaKedua sudut bibir Adhiyaksa pun melengkung lebih tinggi dari biasanya. Entah kenapa, ucapan selamat yang terlampau singkat dari designer asing itu terasa sangat tulus. Mungkin karena ucapan indahnya selaras dengan suits luar biasa yang bisa Adhiyaksa kenakan. Atau karena Adhiyaksa sedang berbangga diri setelah berhasil memberikan yang terbaik untuk Amira. Apa pun itu, kini Adhiyaksa merasa pernikahannya menjadi lengkap.
Tbc
Coba beri Hara satu komentar tentang bab ini.
Sudah vote?
Jangan lupa tekan bintangnya ya kapanpun kalian mampir.
Sampai jumpa di lain kesempatan! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
26/02/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...