Siang, Dears!
Ketemu lagi dong sama Hara.
Coba sini sebut nama panjang kalian!
Siapa tahu bisa Hara jadikan referensi di cerita Hara yang lain.
Budayakan vote sebelum membaca,
Biasakan komentar di akhir cerita.Yang banyak, ya.
Happy reading!
***
Tak ingin berlama-lama bimbang, Kissy pun berbalik arah memapah Adhiyaksa ke kamar. Dia tak memedulikan seberapa banyak keringat yang mengalir melewati tulang punggungnya akibat kepayahan. Berkali-kali dia mengeratkan lingkaran tangannya pada pinggang Adhiyaksa. Dia berjalan tertatih di sepanjang tembok guna menjadikannya penopang lain bagi Adhiyaksa yang sempoyongan.
Lima belas menit kemudian, dia berhasil membaringkan Adhiyaksa di ranjang. Padahal jika dihitung-hitung jarak antara pintu ke kamar Adhiyaksa tak jauh, tetapi karena dia sedang membawa beruang yang terluka setelah hibernasi di antah berantah, Kissy memerlukan waktu sedikit lebih lama dari biasa.
Kissy mengusap kening dan pelipis Adhiyaksa yang juga basah oleh keringat dingin. Tubuh Adhiyaksa menggigil, berbanding terbalik dengan suhu tubuhnya yang meningkat. Oleh karena itu, Kissy lekas berlari ke dapur untuk mengambil air dingin dan mengobrak-abrik kotak obatnya demi sebutir obat penurun demam.
Beruntung, dia masih memiliki satu tablet penuh. Namun, Kissy tak boleh ceroboh sehingga dia langsung memeriksa tanggal kadaluarsa obat tersebut dengan cermat. Setelah yakin tak melewati tanggal expired, Kissy kembali ke kamar Adhiyaksa.
Tangan Kissy sibuk memeras kain untuk mengompres Adhiyaksa. Diletakkannya kain basah itu di dahi pria itu. Kemudian dia beralih mengambil tablet obat. Akan tetapi, dia sontak menepuk dahi saat tak mendapati air minum untuk Adhiyaksa. Dia pun berdiri dan mulai menggerakkan tungkainya tergesa.
"Tunggu. Kalau dia harus minum obat, dia harus makan dulu," gumamnya tepat di langkah kelima.
Dia lantas berbalik dan menghampiri Adhiyaksa. Dia duduk di sisi ranjang, berusaha membuat Adhiyaksa sadar meski sebentar. Ditepuknya lembut pipi Adhiyaksa sembari memanggil nama pria itu beberapa kali. Kissy cukup puas saat Adhiyaksa menunjukkan respon walaupun hanya berupa gumaman tidak jelas.
"Adhiyaksa, kamu sudah makan? Kamu harus minum obat biar demammu turun. Kamu sudah makan belum?" tanyanya telaten.
Adhiyaksa menggeleng lemah. Matanya tetap terpejam. Bibirnya kering dan buliran peluh tak henti merembesi wajah dan lehernya. Mungkin juga bagian tubuhnya yang lain karena Kissy melihat lengan dan bagian depan kemeja Adhiyaksa mulai lembab.
Kissy panik bukan main. Dia tak mungkin memasak di saat keadaan Adhiyaksa seperti ini. Tentang gembar-gembor dia yang jago memasak, dia hanya membual pada Adhiyaksa waktu itu. Dia bahkan harus berlajar dan berlatih keras untuk menghasilkan sebuah masakan yang enak di lidah.
Kissy tak bisa menjamin rasa dari masakannya andai dia memaksakan diri untuk memasak sekarang juga. Bisa jadi Adhiyaksa semakin bertambah parah setelah menyantap hidangan buatannya.
Atau jangan-jangan ... Adhiyaksa seperti ini karena masakannya dua hari lalu?
Ah, Kissy benar-benar kalang kabut sekarang jika dugaan terakhirnya benar.
Kissy merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Dia akan meminta bantuan Christian. Setidaknya, temannya itu cukup bisa diandalkan dalam memberikan saran.
"Halo, Chris! Tolong ke tempatku sekarang. Aku butuh bantuanmu." Kissy menggigit bibir bawahnya keras ketika menunggu respon Christian.
"Tidak ... Tidak. Kali ini aku tidak memasak. Bukan seperti itu. Aku ...."
Kissy mengusap keningnya sekilas. Dia memejamkan mata, kemudian berusaha tenang dengan mengontrol napasnya yang mulai memburu.
"Aku minta tolong, bawakan bubur hangat. Temanku sedang sakit. Dan aku tidak tahu harus bagaimana. Dia pucat. Dia belum makan. Dia juga tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tolong, Chris!" sambungnya penuh permohonan.
Satu helaan napas lega bersamaan dengan kengkungan bibir Kissy menjadi isyarat kalau Christian mengiyakan permohonannya. Dia menoleh pada Adhiyaksa yang beberapa kali meringis di bawah alam sadarnya. Sesungguhnya, dia tak tega. Namun, dia juga tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang terlintas dalam benaknya adalah mengganti pakaian Adhiyaksa agar nyaman.
Dalam kecanggungan, Kissy memberanikan diri untuk melepas satu per satu kancing kemeja Adhiyaksa. Saat kancing terakhir terlepas, Kissy tak bisa mengalihkan pandangannya barang sejenak.
Dulu dia pernah melihat keindahan perut Adhiyaksa sekilas. Kini Kissy bisa memastikan sendiri berapa banyak kotak yang terbentuk di otot perut Adhiyaksa. Belum lagi rambut yang menjalar dari bawah pusarnya dan menghilang di balik celana. Mendadak pipi Kissy memanas membayangkan sampai mana rambut itu bermuara.
Ah, sial! Kissy memejamkan mata dan menggeleng beberapa kali agar atensinya tak teralih. Bisa-bisanya dia memikirkan hal yang tidak-tidak ketika merawat Adhiyaksa yang sedang sakit.
Namun, saat kelopak matanya kembali terbuka, dia sontak tersentak. Bola matanya membola sebesar biji kelereng. Secepat kilat, ditariknya tangan yang dengan lancang bertengger di otot-otot indah perut Adhiyaksa.
"Bukan aku. Tadi itu bukan aku. Aku tidak–" Dia mulai merancau seraya berdiri dan bergerak mundur beberapa langkah.
Dia memandangi tangan kanannya. Ingatannya mulai memutar ulang bagaimana tidak tahu malunya tangan kanannya itu meraba Adhiyaksa yang setengah sadar. Kissy pun mengacak-acak rambutnya frustrasi.
"Damn it!" umpatnya. Dia langsung berlari keluar kamar dengan wajah semerah kepiting rebus, bertepatan dengan suara bel yang ditekan berkali-kali, berisik.
Tbc
Hayoo ... Kissy mulai nakal. Nanti kalau Adhiyaksa nakalin balik, dia kesal. Wkwkwk
Ada yang mau lagi?
Memangnya sudah vote?
Sudah komentar juga?
See you!
Big hug,
Vanilla Hara
14/12/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...