Pagi, Dears! ^^
Terkadang, menjadi pihak yang tidak tahu apa pun lebih baik daripada mengetahui segalanya, tetapi malah menyakiti.
So, here we are ...
Budayakan vote sebelum membaca, dan komentar di akhir cerita.
Putar mulmednya!
Happy reading! ^^
***
"Papa biasanya merokok di sini. Kalau kamu mau merokok, kamu bebas melakukannya di sini." Amira mencoba membuka pembicaraan setelah sekian menit mereka duduk saling diam.
Amira dan Adhiyaksa memutuskan berbicara berdua setelah makan malam usai, meninggalkan para orangtua yang asyik bercengkerama di ruang tengah. Mereka duduk bersisihan di bangku taman yang tertutup kanopi.
"Aku tidak merokok," aku Adhiyaksa singkat.
"Ah ... begitu rupanya," gumam Amira pelan seraya menaik-turunkan kepalanya.
Adhiyaksa tak menyela lagi. Dia kembali bungkam. Dia memilih menikmati semilir angin malam sembari menatap kelap-kelip lampu taman kediaman Benazir. Sedikit menengadah, dia menemukan langit sedikit mendung, tetapi masih ada beberapa bintang yang menggantung.
"Aku sudah memilih wedding organizer yang tepat untuk pernikahan kita."
Adhiyaksa hanya bergumam, lantas mendesah berat, tetapi tak sedikit pun berniat mengalihkan pandangannya pada Amira seolah-olah langit pekat di sana lebih menarik daripada wanita cantik yang sedang duduk di sampingnya.
"Bagus kalau begitu. Aku harap semuanya lancar," komentarnya kemudian.
"Aku harap juga begitu," timpal Amira sekenanya, tak tahu lagi harus bagaimana menghidupkan komunikasi keduanya. Di mata Amira, Adhiyaksa terlalu pasif sehingga seringkali membuatnya sungkan saat berinteraksi, tidak seperti Abrisam yang mudah membuatnya nyaman.
Hening lagi-lagi menyelimuti mereka. Entah pada menit ke berapa, tiba-tiba Adhiyaksa membuka suara. "Amira, apa arti pernikahan menurutmu?" tanyanya, masih enggan menoleh.
Amira menggerakkan kepalanya ke sisi kanan, menatap Adhiyaksa dari samping. Calon suaminya itu masih setia memandang langit. Jujur, Adhiyaksa bukanlah pria berparas buruk untuk dia jadikan suami. Rahang pria itu tegas dan ditumbuhi sedikit jambang. Sejumput janggut dibiarkan tumbuh di sekitar dagunya. Kumis tipis yang sengaja Adhiyaksa pelihara, membuat kharisma pria itu semakin menguar. Apalagi saat Adhiyaksa melayangkan tatapan setajam elang-fokus dan tak tertebak-selalu berhasil mengintimidasi setiap lawan bicaranya.
Tak ingin berlama-lama mengamati wajah Adhiyaksa, Amira mengalihkan atensinya pada langit malam. "Pernikahan bagiku adalah sebuah janji di hadapan Tuhan untuk saling menerima dan mengasihi. Sebuah kesepakatan dan komitmen untuk hidup bersama, bukan dalam konteks satu atap saja, melainkan juga seiya sekata dan seirama dalam melangkah. Selain cinta, saling terbuka dan mendukung menjadi sesuatu yang wajib agar pernikahan itu berhasil karena kita tahu bahwa hidup tidak pernah menjanjikan keadaan yang selalu baik-baik saja ke depannya."
Mendengar jawaban Amira, Adhiyaksa pun menoleh, mengamati wajah ayu di sampingnya lekat. Namun tak sampai lima detik, tiba-tiba Amira juga ikut menoleh sehingga manik mata mereka saling bertubrukan. Keduanya lantas hanyut dalam tatapan mata masing-masing, mencoba saling menyelami apa yang diinginkan hati.
Tautan mata mereka terputus kala terdengar rintik hujan yang jatuh di atas kanopi, menimbulkan suara bising. Semakin lama, rintik itu semakin kerap, membuat keduanya terjebak di taman. Jarak bangku taman dan teras yang cukup jauh tak memungkinkan keduanya berlari menepi tanpa risiko kebasahan.
Amira mengusap kedua lengannya yang tak sengaja terkena rintik hujan yang diembuskan angin. Kepalanya bergerak ke sana kemari, mencari pelayan yang kemungkinan melihat mereka terjebak di taman, lalu bisa membantunya masuk. Namun, gerakan kepalanya terhenti kala dia merasakan sesuatu telah tersampir di pundaknya yang terbuka.
Dia terkejut mendapati Adhiyaksa duduk merapat padanya dan sedang merapikan jas yang sengaja pria itu sampirkan di kedua pundaknya. Seingat Amira, Adhiyaksa memang melepas jasnya setelah mereka di taman dan melipatnya rapi di pangkuan pria itu. Dia tak pernah menyangka bahwa pria sedingin Adhiyaksa bisa melakukan hal se-cheesy ini. Kendati demikian, dia bersyukur atas kepekaan Adhiyaksa, meskipun setelah itu keterkejutan Amira bertambah saat mendengar ucapan penuh perhatian dari calon suaminya itu.
"Udaranya semakin dingin. Aku tidak mau kamu sakit."
Tepat setelah mengucapkan dua kalimat manis itu, manik mata mereka bertemu. Amira hanya bisa tertegun dan mengerjap bingung atas sikap spontan Adhiyaksa. Terlebih saat pria itu menghapus jarak keduanya dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Amira.
"Sepertinya, kali ini pilihan Papa memang tepat. Karena itu, mari melangkah bersama, saling menerima, dan saling mengasihi dalam pernikahan ini, Amira. Aku pernah katakan bahwa aku menginginkan pernikahan sebenar-benarnya pernikahan. Cinta memang belum ada di antara kita, tapi tidak ada salahnya kita memulai ini dengan saling terbuka dan mendukung seperti yang kamu katakan, bukan?
Tbc
Kok jadi enggak tega ya nerusin cerita Adhiyaksa yang bakal menderita gini. Padahal dia sudah selegowo itu nerima takdirnya. Hiks
Sampai jumap di lain kesempatan, Dear! ❤
Big hug,
Vanilka Hara
31/01/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...