Selamat malam Sabtu, Dears! ^^
Mas Adhiyaksa datang lagi, nih, buat nemenin malam kalian. Semoga menghibur, ya ...
Bab ini khusus buat mendalami bagaimana perasaan Amira. Dari kemarin-kemarin kan kita tahunya Amira kalem dan nurut-nurut saja, ya, sama orangtuanya.
Langsung saja!
Jangan lupa vote dan komentar, ya...
Happy reading! ^^
***
Amira terduduk muram di depan meja rias. Make up artist yang dia sewa baru saja keluar, menyisakan dia bersama Widiya. Kemampuan linguanya sudah mati sehingga dia hanya membiarkan hening menyergap keduanya. Berharap bahwa Widiya paham betapa tak inginnya Amira menjalani prosesi pernikahan yang ada di depan mata.
"Ami," panggil Widiya setelah sekian lama bungkam sejak mereka tiba di hotel. Tak mendapat respon dari Amira, dia menghela napas lelah. "Mama tahu ini berat untuk kamu. Tapi, hanya kamu yang Mama dan Papa miliki. Jika bukan kepada kami, kepada siapa lagi kamu akan menunjukkan bakti? Statusmu sudah berbubah. Jadi, kamu tidak perlu lagi memikirkan perasaan-"
"Apa yang Mama tahu tentang sebuah perasaan?" Amira menoleh dan menatap Widiya nyalang. "Apa Mama bilang tadi? Bakti?" Amia mengangguk beberapa kali, membuat tudung di kepalanya juga ikut bergerak-gerak. "Ya, memang. Sebagai seorang anak, aku tidak bisa mengabaikan baktiku pada orangtua. Anggap saja apa yang aku lakukan sekarang demikian. Tapi, Mama harus tahu satu hal." Amira memaku netra Widiya dengan manik matanya. "Aku bersedia menjalani neraka ini bukan semata-mata untuk kalian. Ada satu bakti lagi yang sedang aku jalankan di atas baktiku sebagai seorang anak," lanjutnya lantang.
Widiya terkesiap. Selang beberaapa detik, keterkesiapan itu berubah menjadi tatapan belas kasihan pada putri semata wayangnya. "Ami ...." Dia berusaha meraih dan menggenggam kedua tangan Amira yang sedang memegang bunga. Akan tetapi, Amira menepisnya.
"Mama minta maaf kalau ikut memaksamu menuruti kemauan Papa. Tapi, Ami, tidak ada yang salah dengan pernikahan ini. Setidaknya, hidup kamu akan terjamin. Kamu beruntung karena punya banyak keuntungan. Kamu tidak perlu lagi susah payah memberekan rumah dan berpikir keras menyiasati keuangan keluarga. Kamu bisa beli apa pun yang kamu mau seperti saat kamu hidup sama Mama dan Papa dulu. Kamu-"
Amira memotong ucapan Widiya dengan tawa penuh sarkasme yang dibuat-buat. "Begitu, ya?" Dia tertawa lagi sebelum mengakhirinya dengan sebuah dengkusan. "Bahagia itu letaknya di sini, Ma," ujar Amira sembari menunjuk dadanya. "Bukan di sini," lanjutnya, kemudian menunjuk pelipis kanannya. Dia menarik napas banyak dan mengeluarkannya perlahan.
"Asal Mama tahu, aku sangat bahagia sebelum Papa memintaku pulang dan menghancurkan segalanya dua bulan lalu. Aku bahagia meski Mama dan Papa melihatku seperti menderita. Tapi, sungguh, aku sangat bahagia. Dan sekarang, Mama mencoba menawarkan kebahagiaan dalam sangkar emas Prasaja?" Amira tertawa nyaring. "Itu bukan kebahagiaan, Ma. Itu tak lebih dari neraka untuk para pendosa yang siap disiksa sepanjang sisa hidup mereka. Dab sayangnya, Mama menumbalkan aku atas dosa-dosa ambisi Papa. Atau ... ini juga sebagian dari ambisi Mama? Bukankah banyak yang berkata kalau jodoh itu serupa?"
"Jaga bicaramu, Ami!" hardik Widiya, merasa tersinggung dengan ucapan Amira yang sudah keterlaluan.
Amira menngangkat sebelah alisnya tak acuh. "Kenapa? Mama marah dan tersinggung saat aku menghakimi suami Mama?"
"Ami, kami masih orangtua kamu!"
"Lantas kenapa?" Amira tetap menantang. Dikuatkannya tekad untuk mengeluarkan apa yang selama ini dia tahan dan merasa tertekan dalam diam. Setidaknya, dia ingin wanita yang telah melahirkannya itu tahu kalau tak hanya kebahagiaannya saja yang Papa renggut, melainkan juga hidupnya.
"Ya Tuhan!" Widiya memijat pelipisnya yang mendadak pening. Dia tak mengerti kenapa putrinya yang lemah lembut berubah menantangnya menjelang pemberkatan. "Tidak ada orangtua yang ingin anaknya menderita dan kesusahan, Ami. Pun Papa dan Mama. Semua yang kami lakukan semata-mata untuk kebaikanmu meskipun tak menampik kalau juga ada kebaikan untuk kami di dalamnya. Jadi, tolong ... berhenti menyalahkan kami dan mulai berpikir dari sudut pandang kami, Sayang," ujar Widiya semakin melembut di akhir kalimatnya.
Tatapan nyalang Amira berubah menjadi tatapan datar. "Begitu juga aku, Ma. Seperti Mama, aku juga sedang mengusahakan kebaikan itu. Sayangnya, cara kita berbeda, Ma. Jika kalian sebagai orangtua memilih mengorbankan aku, putri kalian, maka aku memilih mengorbankan diriku sendiri untuk kebahagiaan semua orang. Apa lagi setelah aku tahu kalau aku sedang-"
"Maaf, kami mengganggu?"
Ucapan Amira tak pernah tergenapi tepat saat suara penuh tanya dan sarat izin itu muncul dari balik pintu sesaat setelah pintu diketuk. Amira hanya melirik sekilas, sementara Widiya langsung bangkit dan menyambut kedatangan Abrisam dan Ferdinan. Entah mengapa, Amira malah merasa lega saat dia tak harus melanjutkan perkataannya. Nyaris saja dia membuat kesalahan fatal. Beruntung, kedatangan kedua pria itu membuatnya berhenti mengoceh di bagian yang tepat.
Tbc
Bab berikutnya, ada Pak Prasaja yang nyamperin Amira. Kira-kira, Pak Prasaja bakal ngasih wejangan pernikahan apa sama menantunya satu ini, ya?
Ada yang tahu?
Telan bintangnya ya, Dears! Jangan pelit-pelit kasih bintang.
Terima kasih buat kalian yang masih bertahan dengan cerita ini. ❤
Sampai jumpa di lain kesempatan! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
27/02/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...