Siang, Dears!
Kaget, ya, Hara update siang bolong begini?
Sengaja. Biar kalian terpancing emosi.
Hari ini Hara update 2 kali, ya. Satu bab lagi bakal Hara update nanti malam.
Seneng, kan?
Vote, comment, dan share cerita ini ke teman kalian.
Happy reading!
***
Rahang Abrisam mengeras. Kedua tangannya mengepal di sisi badan. Giginya bergemeletuk seiring geraman tertahan. Dia sudah bersiap menghampiri Adhiyaksa dan memberi satu bogeman.
Bisa-bisanya kakaknya itu berjalan dan bermesraan dengan wanita lain, sementara istrinya sedang hamil besar seperti sekarang. Abrisam benar-benar tak habis pikir. Padahal jika dilihat-lihat, Amira jauh lebih segalanya dibanding wanita yang saat ini Adhiyaksa rangkul mesra.
"Kakak tunggu di sini, ya! Sebentar." Abrisam melembutkan tatapannya sejenak pada Amira. Dia tak ingin membuat keributan di depan kakak iparnya yang sedang hamil itu.
"Kamu mau ke mana, Abi?"
Abrisam memejamkan mata, menahan emosi yang kembali menggelegak. "Aku—"
"Jangan bilang kamu mau menghampiri Adhiyaksa dan memukulnya?" tuding Amira tepat sasaran.
Tangannya yang sedari tadi sibuk mengelus perut buncitnya, kini beralih menggenggam tangan kanan Abrisam yang menenteng kantung belanjaan.
"Jangan salah paham, Abi. Semua ini tidak seperti yang kamu pikir."
"Apa yang tidak seperti aku pikirkan, Kak?!" sentak Abrisam tak sengaja. Dia kelepasan karena dilanda amarah.
Amira berjengit terkejut. Abrisam sangat menakutkan kala marah. Mata pria itu menyalak tajam tak terbantah. Tubuh Amira pun refleks mundur beberapa langkah.
Sadar akan kesalahannya, Abrisam mengusap wajah kasar. Dia berusaha menetralkan napasnya yang memburu. Kemarahannya begitu memuncak sehingga ucapannya menjadi tak terkendali. Sungguh, di kepalanya ada berbagai macam umpatan yang ingin sekali Abrisam lemparkan pada Adhiyaksa.
"Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud membentakmu," ujar Abrisam menyesal.
Amira mulai bisa menguasai diri. Dia kembali mendekat dan mengelus lengan Abrisam. "Kita bicara di rumah, oke? Aku tidak mau menjadi pusat perhatian orang. Aku akan jelaskan semua di rumah."
Abrisam mengangguk. Dia menuntun Amira dengan hati-hati memasuki mobil. Dia memasukkan barang-barang belanjaan ke jok belakang. Setelah memastikan Amira duduk dengan nyaman, Abrisam menutup pintu mobil dan mengitarinya. Sebelum ikut masuk, Abrisam sempat melirik sekilas ke arah supermarket.
Dalam keadaan mengemudi, Abrisam tak henti berpikir tentang siapa gerangan wanita yang bersama Adhiyaksa. Otaknya terus berpikiran buruk. Dia tak menyana kalau Adhiyaksa bisa sebrengsek Prasaja. Dan Abrisam tidak ingin melihat Amira berakhir seperti maminya.
"Kakak kenal wanita itu?" Abrisam tak tahan lagi untuk bertanya.
Amira yang duduk bersandar pun menegang. Dia terdiam sejenak, memberi jeda untuk memikirkan alasan terbaik. Bagaimanapun, Adhiyaksa pernah mewanti-wantinya agar Abrisam tidak boleh banyak tahu tentang kesepakatan mereka. Walaupun Abrisam termasuk kerabat dekat, pernikahan tak wajar Amira dan Adhiyaksa tak selayaknya diumbar.
Tanpa memberi Abrisam mata, Amira menjawab, "Dia rekan kerja dan sahabat kakakmu."
Glabela Abrisam mengerut seiring matanya yang menyipit curiga.
"Benarkah?"
Mendengar nada ragu Abrisam, Amira akhirnya menoleh. Dia menatap Abrisam lamat seraya mengangguk.
"Iya, Abi. Sebelum pergi, Adhiyaksa meminta izin padaku. Dia ada rapat penting hari ini. Lalu dia mengatakan akan membantu sahabatnya yang baru sampai di Paris untuk pindahan. Ya ... something like that. Mungkin, tadi mereka sedang berbelanja perabotan rumah yang kurang. Jadi, tidak perlu berpikir macam-macam tentang kakakmu."
Abrisam tidak menjawab. Instingnya tidak mengatakan demikian. Dia sangat mengenal Adhiyaksa. Selama ini, kakaknya itu pelit tawa. Bahkan saat menikah dengan Amira, Adhiyaksa hanya mampu menarik seulas senyum. Namun, apa yang dilihatnya tadi berbeda. Adhiyaksa begitu leluasa mengumbar tawa sampai mencapai mata, bukan tawa formal biasa.
Kendati begitu, Abrisam tak mengutarakan berbagai kejanggalan yang dia temukan kepada Amira. Menilik kondisi kakak iparnya itu, Abrisam tidak ingin membuat segala sesuatunya menjadi runyam. Dia memilih bungkam sampai membuktikan sendiri kecurigaannya.
Tbc
Belum emosi jiwa, kan?
Iyalah.
Emosinya simpan dulu buat nanti malam biar puasanya enggak batal.
Sudah vote?
Sudah komen?
Sudah share?
Terima kasih, Dears! ❤️
Big hug,
Vanilla Hara
29/04/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP | ✔ | FIN
General FictionPrequel COFFEE BREAK Adhiyaksa Prasaja mengerti bahwa pernikahannya begitu dibutuhkan dan dinanti. Namun, kealpaannya mengenal cinta dan bermain wanita membuatnya setuju menikahi Amira Hesti Benazir, meskipun dia tahu ada niat terselubung atas berla...