BREAK UP #35.5

1.5K 211 29
                                    

Malam, Dears!

Masih ada yang belum tidur?

Bab kali ini panjang, ya. Awas saja masih ada yang bilang pendek. Nanti Hara update lanjutannya bulan depan.

Sudah siapkan hati buat ending dari bab ini? (Jangan di-scroll buat ngintip ending babnya. Baca aja pelan-pelan)

Langsung saja, yuk!

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman kalian!

Happy reading!











***














Tak ada ucapan yang Kissy jadikan jawaban. Hanya seulas senyum tipis dan tepukan ringan pada punggung tangan Adhiyaksa. Sejujurnya, Kissy merasa senang dengan perkataan pria itu. Namun, dia tidak ingin terlalu menggantung harap. Kissy tahu bahwa semua mimpi yang dia miliki, bukanlah tanggung jawab siapapun dalam mewujudkannya, tidak juga Adhiyaksa.

"Kamu tidak percaya padaku?" Adhiyaksa mencoba menerka maksud dari senyuman tipis Kissy.

Kissy tergelak lepas. Tidak ada yang salah dari pertanyaan yang Adhiyaksa lontarkan. Pria itu juga tak sedang bermaksud melucu. Ekspresi serius Adhiyaksalah yang akhirnya mengundang tawa. Pria itu terus berusaha meyakinkan Kissy agar benar-benar percaya.

"Aku percaya padamu," jawab Kissy di sela tawanya yang tak kunjung berhenti.

Adhiyaksa menipiskan bibir. Dia memberengut tak senang. Bagaimana tidak, Kissy mengatakan mempercayainya, tetapi gadis itu tak berhenti tertawa. Bukankah sudah jelas kalau jawaban yang Kissy berikan hanya sekadar pemanis saja.

"Yang sebenarnya adalah ... kamu sama sekali tidak mempercayaiku," sungut Adhiyaksa.

Kissy lantas berdeham untuk mengerem laju tawanya. Dia menepuk-nepuk pipi kiri Adhiyaksa lembut. "Aku percaya padamu, tapi bukan berarti semua mimpiku menjadi tanggung jawabmu." Gerakan tangan Kissy berhenti dan beralih menangkup kedua pipi Adhiyaksa.

"Jangan terlalu memikirkan apa yang belum tentu terjadi. Kita hanya manusia biasa, tak memiliki kapasitas layaknya Tuhan. Aku percaya, kamu lebih dari mampu melakukan banyak hal. Tapi, bukankah lebih baik kita biarkan saja bagaimana takdir Tuhan bekerja setelah kita berusaha sebaik-baiknya? Hm?"

Seketika, kemampuan lingua Adhiyaksa menguap. Kelopak matanya tak berhenti mengerjap. Apalagi saat Kissy melarikan tangan kanannya untuk menyentuh glabela Adhiyaksa.

"Aku tahu, kamu adalah tipe orang yang sangat memikirkan masa depan. Banyak rencana dan strategi yang selalu kamu pikirkan di sini." Kissy mengetuk pelan pelipis kiri Adhiyaksa. "Tapi Adhiyaksa, untuk sekali saja. Tidak bisakah kamu melepaskan semua kekhawatiran berlebihan itu dan mulai menikmati hidup? Sehari dalam seminggu, misalnya?"

"Sehari dalam seminggu?"

Kissy mengangguk. Kini jemari Kissy menjarah daerah sudut mata Adhiyaksa. Tak lupa dia berikan usapan seringan bulu. "Ya, kamu butuh refreshing meskipun hanya sehari. Karena dari pengelihatanku, keriputmu terus bertambah jika selalu serius menjalani hidup."

Bibir Adhiyaksa berkedut, menahan tawa. "Jadi, kamu lebih mengkhawatirkan soal keriput di bawah sudut mataku dibanding impianmu yang sudah aku renggut?"

Alis Kissy terangkat, membentuk kerut di glabela. Perlahan, dia menurunkan tangannya. "Sekarang, aku bahkan lebih khawatir jika kita terlambat ke gereja dan melewatkan ibadah pagi. Jujur, aku lebih takut Tuhan marah padaku daripada kehilangan mimpiku berkat kecerobohanmu."

BREAK UP | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang