Cellus sedang berkumpul bersama teman-temannya di kantin, saat seorang gadis datang menghampiri. Gadis itu tampak malu-malu saat mendekati Cellus, terbukti dari caranya meremas ponselnya sendiri.
"Lus, lus!" Edgar menyenggol Cellus yang duduk di sebelahnya, lalu menunjuk gadis itu dengan dagunya. Tak hanya Cellus, tapi keempat teman lainnya juga ikut menoleh.
"H-hai, Kak Cellus," sapa gadis itu gugup. Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum gugup. "Gue Aira."
"Hai, gue Cellus," balas Cellus ramah, tak lupa membalas uluran tangan Aira. Edgar dan yang lainnya mulai bersiul keras sambil mengeluarkan suara-suara aneh, membuat mereka menjadi pusat perhatian seisi kantin.
"Lus, lus, lepas Lus! Modusshhh!" Felix memperingatkan Cellus.
"Eh, iya. Lupa. Abis tangannya halus banget. Jadi nyaman, kan," balas Cellus sambil cengengesan. Sengaja bikin anak orang baper.
Kai berdecak. "Jangan mau, Dek. Bahaya nih buaya satu!"
Aira tersenyum canggung.
"Kenapa nyamperin gue?" tanya Cellus. Ia tahu apa maksud Aira sebenarnya.
"Eh, oh, ini. Gue boleh minta nomornya nggak, Kak?" Aira menyerahkan ponselnya. Wajahnya sudah merah padam karena disaksikan seisi kantin. Tapi ya sudah lah, sudah terlanjur kecipratan juga. Nyemplung aja sekalian.
Benar saja, sorakan riuh terdengar. Yang paling dominan adalah dari kaum hawa yang mencibir keberanian Aira. Banyak yang langsung mengecapnya tak tahu malu.
"Oh, iya, boleh," jawab Cellus. Ia mengambil ponsel Aira, lalu mengetikkan nomor. "Nih, udah."
Senyum Aira melebar. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Thanks, Kak."
"Sama-sama, dedek gemes," jawab Cellus. Aira tampak malu-malu. Ia bahkan hampir jatuh saat kembali ke mejanya.
Sepeninggal Aira, Milo mendekatkan dirinya ke arah Cellus. "Nomor siapa yang lo kasih?"
"Satpam apart gue," balas Cellus. Lalu, mereka serempak tertawa.
***
Jangan berpikir kejadian di ruang kepala sekolah beberapa hari yang lalu merupakan tanda perdamaian. Nyatanya, sampai sekarang pun, Cellus dan Davina masih seperti anjing dan kucing.
Seperti saat ini, Davina sedang sibuk mencari keberadaan Cellus. Langkahnya harus sedikit terseok-seok karena sepatu yang ia gunakan terlalu besar.
Jelas saja, karena sepatu yang Davina pakai adalah milik Cellus.
Cellus— ah, Davina tidak tahu kata apa yang paling cocok untuk menggambarkan laki-laki itu. Bajingan? Tai kuda? Setan? Babi?
Davina kesal. Kesal sekali. Tadi, ia asyik tertidur di perpustakaan. Sekedar informasi, di perpustakaan Ravenwood High School, ada spot khusus yang dipenuhi oleh bean bag dan beralaskan karpet. Biasanya tempat itu digunakan oleh para siswa untuk tidur saat jam istirahat. Dan Davina salah satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...