Double up coz why not 🤓
Sudah lima belas menit berlalu, Nora belum juga keluar dari toilet untuk membersihkan diri. Sambil menunggu di luar, Cliff membantu Nora membersihkan tasnya yang juga terkena siraman tepung dan telur. Ia mengeluarkan semua barang Nora— atas seizin gadis itu, lalu menjejernya di lantai, dan mengelapnya dengan tisu basah satu per satu.
Lima menit setelah Cliff selesai dengan barang-barang Nora, gadis itu pun keluar. Rambutnya basah, bajunya sudah diganti dengan seragam yang Cliff ambil dari UKS. Untung saja, petugas yang menjaga masih belum pulang.
"Udah gue bersihin." Cliff menyerahkan tas Nora.
"Makasih, Kak," ucap Nora serak. Gadis itu menunduk, tak ingin Cliff tahu bahwa matanya sembab akibat terlalu lama menangis di dalam toilet tadi.
Cliff mengangguk tanpa suara. Laki-laki itu menyodorkan sebuah kertas dan bolpoin, membuat Nora menatapnya bingung.
"Tulis nama cewek-cewek tadi, sama kelasnya."
"Untuk apa?"
"Tulis aja."
Nora menatap Cliff dan kertas itu bergantian. Lalu, sebuah kemungkinan terbesit di benaknya. Gadis itu mendorong halus kertas di tangan Cliff, menunjukkan penolakannya.
"Kalo Kakak mau menindaklanjuti, mending nggak usah."
Cliff mengernyit. "Kenapa?"
Karena mereka bakal semakin bully aku. "Nggak papa. Nggak usah." Nora tersenyum tipis. "Makasih sekali lagi Kak, buat bantuannya. Aku pamit dulu."
Nora pun meninggalkan Cliff yang masih terpaku di tempatnya.
***
"Kak, ngapain nyuci malem-malem?"
Nora tersentak kaget saat melihat Laila sudah berdiri di belakangnya, menatapnya curiga. Gadis itu menyengir. "Tadi di sekolah ketumpahan minuman, Bunda."
Laila berjalan mendekat, menatap isi bak tempat Nora mencuci. "Terus, ini tasnya kamu cuci lagi? Kena juga?"
Nora gelagapan. "I-iya, Bun. Tadi kena juga."
Laila menatap Nora yang tampak sedang berusaha menyembunyikan rasa paniknya. "Kakak nggak ada sembunyiin apa-apa kan dari Bunda? Ini bukan ulah Citra lagi, kan?"
Nora langsung menggeleng. "Nggak, kok, Bun. Bunda nggak usah khawatir," ucap Nora. Ia pun kembali berjongkok, melanjutkan kegiatan mencucinya. Setelah selesai menjemur, Nora pun bangkit, lalu membawa bundanya masuk ke dalam rumah.
"Kakak nggak papa, Bunda," ucap Nora sekali lagi, karena melihat kening Laila berkerut samar seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Iya, Bunda percaya," balas Laila. "Kakak tidur, ya. Besok sekolah lagi."
Nora mengangguk, lalu mengayunkan langkahnya kembali ke kamar. Begitu pintu tertutup, air mata mulai mengalir dari kedua mata Nora. Buru-buru gadis itu mengusapnya.
"Capek banget..."
***
Keesokan harinya, Nora datang seperti biasa. Pukul enam pagi, Nora sudah berada di halte dekat rumahnya, menunggu bis yang biasa ia tumpangi. Lalu, setelah sampai di halte dekat sekolah, Nora turun, dan lanjut berjalan kaki ke sekolah sembari menahan beban kotak-kotak kue yang dibawanya setiap hari.
Nora memang bukan terlahir kaya. Ayahnya dulu hanya seorang pegawai biasa di sebuah kantor akuntan publik. Setelah bekerja di kantor, ayahnya langsung bekerja di restoran milik sahabatnya, dan menjadi seorang pelayan di sana.
Laila pun hanya seorang ibu rumah tangga. Wanita itu sehari-hari juga ikut berkontribusi menambah pemasukan dengan berjualan kue-kue tradisional. Meski sederhana, Nora dan keluarganya hidup bahagia. Mereka tidak pernah kekurangan uang, meski juga tak bisa membeli kemewahan.
Namun naas, setahun yang lalu, nyawa ayah Nora harus raib dalam sebuah kecelakaan tunggal. Sejak saat itu, kondisi keuangan keluarga Nora pun memburuk.
Akhirnya, Nora pun terpaksa turun tangan. Ia mulai melamar sebagai seorang pelayan di sebuah cafe. Seakan Tuhan memudahkan jalannya, Nora langsung diterima detik itu juga. Ia masih bekerja di sana sampai hari ini. Tak hanya itu, sekolahnya juga mau berbaik hati memberi keringanan dengan cara memberi Nora waktu lebih lama untuk membayar uang sekolah. Dan setelah bekerja keras, Nora berhasil mendapat beasiswa tujuh puluh lima persen saat masuk SMA.
Begitu sampai di halaman sekolah, Nora langsung bersikap waspada. Ia sedang tidak ingin berurusan dengan Citra dan teman-temannya, atau orang lain yang berpotensi mengganggu hidupnya. Untuk satu hari saja, Nora ingin sekali hidup tenang.
Sayangnya, keinginan Nora kali ini tidak terkabul. Baru menginjak koridor kelas sepuluh, ia langsung berpapasan dengan Citra dan Vera. Keduanya menatap Nora sinis sambil tersenyum remeh.
"Pelacur," bisik Citra tepat di telinga Nora saat mereka berpapasan. Nora berusaha mati-matian untuk tidak membalas, apalagi saar Citra dengan sengaja menabrak bahunya keras.
Yang Nora lakukan hanya mempercepat langkahnya menuju kelas.
***
"Masuk!"
Setelah mendengar persetujuan dari dalam, Cliff pun membuka pintu ruang kepala sekolah. Laki-laki itu menundukkan kepalanya sopan pada Pak Raditya, kepala sekolah yang cukup dekat dengannya. Bisa dibilang, Cliff merupakan murid kesayangannya.
"Ada apa, Cliff?" tanya Pak Raditya ramah. Ia juga mempersilahkan Cliff duduk lewat tatapan mata.
"Saya ingin meminta izin untuk mengakses kamera CCTV di area belakang sekolah, Pak." Cliff meminta izin.
"CCTV? Untuk apa?"
"Kemarin, saya mendapati ada kasus perundungan di sana. Namun, korban sama sekali tidak ingin memberitahu siapa pelakunya. Bila diizinkan, saya ingin menindaklanjuti kasus ini."
Pak Raditya menghela napas. "Tempat itu seharusnya sudah ditutup sejak lama. Masih saja ada yang menggunakannya untuk hal yang tidak-tidak," keluhnya. "Maaf, Cliff. Area itu tidak ada kamera CCTV-nya."
"Kalau area di sekitar sana, Pak? Apa ada?"
"Nanti saya cek dulu. CCTV tidak bisa diberikan begitu saja. Saya akan membentuk tim guru untuk menindaklanjuti kasus ini. Biar ini jadi urusan para guru saja. Nanti, Bapak akan panggil kamu setelah timnya terbentuk."
Cliff pun mengangguk. "Terima kasih Pak untuk bantuannya. Saya permisi."
Incognito - Clifford.
31-7-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...