"Sekian dulu rapat hari ini, jangan lupa laporan dikirim ke Jason paling lambat Sabtu. Thanks buat kerjasamanya."
Cliff menutup rapat OSIS hari ini dengan kalimat penutup andalannya. Penutup, mengingatkan tugas yang harus dikumpulkan segera, lalu ucapan terima kasih.
Para anggota OSIS periode baru pun mulai berhamburan pulang. Yang tersisa hanya beberapa senior, seperti Cliff, Jason, Veronna, dan beberapa anak kelas sebelas lainnya.
"Jaz, pulang?" tanya Veronna. Jason mengangguk.
"Nebeng, dong."
"Lha, motor lo?" tanya Jason.
"Gue nggak bawa motor hari ini. Lagi di bengkel."
"Oooooo, oke." Jason pun mengangguk. Lalu, keduanya melirik Cliff yang sedang sibuk membaca entah buku apa. Jason dan Veronna pun serempak berdecak.
"Gue bisa liat otak lo melambai-lambai minta tolong, Cliff," celetuk Jason.
"Salah satu hal yang paling gue syukuri dalam hidup gue adalah, gue nggak diciptain sebagai otaknya si Cliff," timpal Veronna. Cliff tersenyum tipis mendengar ocehan kedua temannya tanpa mengalihkan tatapan dari buku filsafat di tangannya.
Cliff hobi membaca buku. Laki-laki itu selalu mengisi waktu-waktu senggangnya untuk hal-hal yang berguna, salah satunya dengan menambah ilmu. Buku yang dibaca Cliff pun bukan sembarangan, ia hanya membaca buku-buku tentang filsafat, biografi seorang pebisnis sukses, atau hal-hal sejenisnya.
"Balik sekarang, kuy," ajak Jason setelah hanya tersisa mereka bertiga di ruang OSIS. Ia dan Veronna pun segera membereskan barang-barang mereka, sedangkan Cliff masih setia dengan buku bacaannya.
"Kalian duluan aja," ucap Cliff saat Veronna mengajaknya. Jason dan Veronna pun mengangguk paham, sudah sangat hafal dengan Cliff yang hobinya mendekam di ruang OSIS sampai sore.
Waktu menunjukkan pukul lima, saat Cliff akhirnya bangkit dari posisi. Setelah merapikan ruangan, barulah laki-laki itu meninggalkan halaman sekolah, menuju apartemennya yang berjarak lima belas menit— dengan motor.
Begitu tiba, Cliff langsung menggantung tas dan jaketnya, meletakkan kembali sepatu sekolahnya di rak, lalu memasukkan seragam dan kaus kaki ke dalam laundry bag. Setelahnya, seperti biasa, Cliff akan mandi lebih dulu, lalu menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
Si gila kebersihan, seperti itulah Cellus biasa memanggilnya. Benar, Cliff memang gila kebersihan. Ia tidak suka melihat sesuatu yang berantakan atau kotor. Hidup Cliff benar-benar teratur dan higienis, kontras dengan Cellus yang lebih menyukai spontanitas dan kekacauan.
Seusai makan malam dan membersihkan area dapur, Cliff langsung menuju sofa untuk menelepon Bianca. Di nada dering kedua, suara lembut maminya pun terdengar.
"Abang, udah pulang?"
"Udah, Mi," jawab Cliff. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya di kepala sofa, melipat sebelah tangannya sebagai tumpuan. "Mami di rumah?"
"Iya, Nak," jawab Bianca di seberang sana. "Abang makan apa hari ini?"
"Tadi masak beef hamburg. Mami udah makan?"
"Baru aja selesai makan sama Papi."
Cliff mengangguk, meski Bianca tak dapat melihatnya.
"Abang tutup dulu ya, Mi. Mau ngerjain PR sama laporan."
"Iya, Sayang. Kamu jaga kesehatan, ya."
Setelah berbasa-basi singkat, Cliff mematikan sambungan telepon. Menelepon Bianca merupakan kebiasaan Cliff hampir setiap malam. Ia merasa lebih tenang saat mendengar Bianca dan Ares dalam keadaan sehat.
Cliff beranjak mengambil laptop dan mapnya. Lalu, mulai mengerjakan tugas.
***
"Kakak pulangg!"
Nora baru menginjakkan kakinya di rumah pukul sembilan malam. Gadis itu merentangkan kedua tangannya, menyambut sang adik yang sedang berlari tertatih ke dalam pelukannya.
"Bunda mana, Sa?" tanya Nora pada Sasa, adiknya yang masih berusia tiga tahun.
"Bunda di dapur, Kak!" Terdengar sahutan dari arah dapur. Nora pun membawa adiknya menuju dapur, tempat sang bunda berada. Rupanya, bunda Nora sedang menyiapkan kulit risol.
"Sini Kakak bantu, Bun," ucap Nora.
"Mandi dulu sana, Kak. Bentar lagi selesai, kok," tolak Laila, bunda Nora. Gadis itu pun mengangguk patuh. Setelah meletakkan tas dan menggantung celemek kerjanya, Nora segera membersihkan diri.
Beberapa saat kemudian, Nora sudah kembali ke dapur, membantu Laila membalut risol yang sudah diisi dengan tepung roti.
"Gimana sekolah sama kerjaannya hari ini, Kak?" tanya Laila, membuka percakapan. Hanya ada mereka berdua, karena Sasa sudah tidur beberapa saat yang lalu.
"Lancar, Bun. Hari ini cafe lumayan rame, terus kuenya juga habis. Oh iya, kata ibu kantin, disuruh banyakin risol mayo, itu yang paling laku."
Laila mengangguk paham. Ia menutup kotak bening yang sudah penuh dengan risol yang masih belum digoreng, lalu memasukkannya ke dalam kulkas untuk digoreng besok pagi.
Setelah semua kue sudah disiapkan, Nora membantu Laila membersihkan rumah. Ia cukup lelah sebenarnya, karena harus sekolah dan bekerja di cafe seharian, malamnya masih membantu Laila membuat kue untuk dijual dan membersihkan rumah. Belum lagi tugas dan ulangan yang mulai menumpuk. Tapi tak apa, Nora senang melakukannya.
"Kak," panggil Laila ketika mereka berdua duduk di meja makan. Nora yang sedang mengerjakan tugas, langsung mendongak.
"Citra nggak ada ganggu Kakak, kan?"
Nora terdiam sejenak, sebelum menjawab. "Nggak, kok. Hari ini Kakak nggak ketemu dia," bohongnya. Padahal di dalam otaknya, masih terus terngiang bagaimana rasa air got karena ulah Citra.
Laila tersenyum lega. "Puji Tuhan. Kalau dia ganggu Kakak, bilang sama Bunda, ya. Biar Bunda dateng ke sekolah."
Nora mengangguk. Demi mengurangi rasa bersalahnya, Nora langsung mengalihkan pandangan, kembali menatap bukunya meski pikirannya sudah tak lagi di sana.
Incognito - Clifford.
26-7-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...