Setelah menempuh perjalanan lima belas menit, akhirnya mereka bertiga sampai di apartemen Cellus.
Begitu masuk, Davina langsung mengedarkan pandangannya, memindai apartemen Cellus dengan iris cokelatnya. Apartemen Cellus didominasi oleh warna abu-abu. Sangat luas kalau hanya untuk seorang diri.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Diego sudah terlelap dalam gendongan Cellus. Laki-laki itu perlahan membaringkan Diego di ranjang kamarnya, baru perlahan melepas sandal anak kecil itu.
Davina melihat Cellus yang begitu telaten merawat Diego. Baru kali ini, Davina melihat sisi lain Cellus. Musuh bebuyutannya yang usil, menjengkelkan, hobi ngebaperin anak orang— kecuali Davina, kali ini terlihat lebih kebapakan.
"Lo pake kamar mandi duluan, baru gue. Nih baju gue yang paling kecil. Semoga cukup," ujar Cellus yang entah sejak kapan sudah berada di hadapan Davina.
"Hm, thanks," jawab Davina sebelum berlalu menuju kamar mandi.
Sepeninggal Davina, Cellus mengeluarkan selimut dan bantal cadangannya, lalu menatanya di sofa. Malam ini, biar Davina dan Diego yang menggunakan kamarnya, ia akan tidur di sofa ruang TV.
"Lus, udah," panggil Davina, membuat Cellus menoleh. Laki-laki itu tak bisa menahan tawanya melihat tubuh mungil Davina yang tenggelam dalam kaus kebesaran dan celana training-nya.
"Jangan ketawa lo, setan," gerutu Davina. Cellus membekap mulutnya sendiri, takut kelepasan. Nanti, Diego bangun.
Cellus melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu keluar, ia mendapati Davina sedang berada di balkon, memunggunginya.
"Lo nggak tidur?" tanya Cellus.
Davina menggeleng. "Belom ngantuk."
Cellus tak mengatakan apa-apa lagi. Ia berdiri di samping Davina, menikmati pemandangan kota di tengah malam. Kota Jakarta memang tak pernah tidur. Meski sudah hampir jam dua belas pun, masih banyak kendaraan yang yang berlalu-lalang.
"Lus," panggil Davina. Cellus menoleh. "Hm?"
"Yang lo liat hari ini, lo bisa keep, nggak?"
Cellus mengangguk tanpa perlu pikir panjang. "Tanpa lo minta pun, gue bakal jaga rahasia lo, Pin."
"Thanks," jawab Davina. Ia merasa lega mendengar ucapan Cellus. Entah mengapa, kali ini rasanya Cellus bisa dipercaya.
"Lo kenal Igo dari mana?" tanya Davina setelah keheningan menyelimuti beberapa saat.
"Temen nongkrong," jawab Cellus jujur. Sayangnya, Davina tak percaya.
"Gue serius," lanjut Cellus. "Tanya aja sama adek lo."
Davina terkekeh pelan. Gadis itu mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan. Ia tak sadar, kekehannya barusan membuat Cellus tak bisa berkata-kata.
Anjir, batin Cellus.
"Bokap sama nyokap gue, bertengkar mulu sejak gue kelas 1 SMP," ujar Davina tiba-tiba. Ia masih tak mengalihkan pandangannya dari gedung-gedung bertingkat dan jalanan kota.
"Bokap gue jarang tidur di rumah. Dia lebih seneng tinggal sama selingkuhannya. Kalo pulang, paling cuma ngajakin nyokap gue berantem. Ada aja yang dipermasalahin," lanjutnya.
Cellus masih diam, mendengarkan dengan seksama.
"Mereka nikah, karena nyokap udah hamil gue duluan. Gue hadir karena kecelakaan. Waktu itu, bokap lagi mabok di bar, gara-gara berantem sama pacarnya. Yang sekarang jadi selingkuhan bokap gue itu. Eh, malah ngehamilin nyokap gue. Terus, muncullah gue."
"Kadang gue mikir, kenapa nggak cerai aja kalo nggak saling cinta? Mereka nggak sadar apa, yang sakit tuh bukan cuma mereka doang." Setitik air mata kembali jatuh dari pelupuk mata Davina.
"Gue nyesel, gue egois banget. Gue ninggalin Igo cuma demi nyelametin diri gue sendiri. Gue ninggalin adek gue yang bahkan lebih fragile."
Air mata Davina semakin deras. Cellus ingin memeluk gadis itu, namun ia ragu. Ia takut Davina marah nanti.
"Pin," panggil Cellus akhirnya. Davina menoleh sambil bersimbah air mata.
"Mau gue peluk, nggak?"
Cellus pikir ia akan ditampar. Tapi ternyata Davina malah langsung memeluk Cellus, menenggelamkan wajahnya di dada laki-laki itu. Davina menangis begitu kencang, menumpahkan segala kesedihannya yang selama ini ia pendam.
Tubuh Cellus membeku karena serangan mendadak Davina. Tangannya bergerak ragu, butuh beberapa saat hingga kedua tangannya membalas pelukan gadis itu.
Cellus meletakkan dagunya di atas puncak kepala Davina, sambil memberikan elusan hangat di punggung gadis itu, sesekali menepuknya. Jantung Cellus berdebar begitu kencang.
Untuk pertama kalinya, Cellus deg-deg an karena memeluk perempuan.
***
Pagi menyapa. Davina bangun saat matahari sudah berada tinggi di atas sana. Gadis itu menoleh ke samping, dan tak mendapati sosok Diego.
Seketika, kedua mata Davina terbelalak lebar. Sekolah!
Davina langsung bangkit dari kasur, lalu berjalan keluar dari kamar. Ia pikir, ia akan mendapati Cellus dan Diego di sana. Namun ternyata nihil. Kedua laki-laki itu menghilang entah kemana.
Davina mengambil ponselnya di atas nakas, lalu menyalakannya. Ia tertegun saat menerima sebuah pesan dari Cellus.
Cellus Sialan
Gue sm Diego sklh. Dia blg g ush bgnin lo, jd lo bolos aja.
Baju lo ada di sofa. Gue sm Diego ambil td pagi.Davina menghela napas.
Incognito - Cellus.
1-7-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...