Davina membanting tubuhnya di ranjang. Matanya menatap lurus langit-langit kamar yang kosong, pikirannya mulai menerawang ke peristiwa saat ia pertama kali bertemu dengan Cellus.
"WOY, RAMBUT PIRANG!"
Semua mata langsung tertuju pada seorang laki-laki yang ditunjuk oleh panitia MOS, termasuk Davina. Laki-laki berkalungkan papan kardus dengan tulisan "KAMBING CONGEK" itu menoleh dengan wajah begonya.
"Hah? Gue?"
"GUE GUE! SAYA!" teriak kakak panitia. Selama MOS, mereka memang harus berbicara dengan sopan pada panitia dan guru.
"Eh, oh iya, saya?" tanya laki-laki itu lagi, tampak tak bersalah.
"YA SIAPA LAGI YANG PIRANG SELAIN KAMU?!"
"Itu pirang juga. Itu juga, itu juga." Laki-laki itu menunjuk beberapa murid baru lain yang juga berambut pirang. Kebetulan, di Ravenwood High School, warna rambut tidak pernah dipermasalahkan.
Kakak panitia bernama Arya itu berdecak. "Sini lo!"
Laki-laki itu pun melangkah mendekati Arya. "Kenapa, Kak?"
Arya menendang-nendang sepatu Cellus pelan. "Siapa yang ngebolehin lo pake sepatu putih?!"
Tak hanya laki-laki itu yang shock, beberapa siswa lain pun juga, termasuk Davina. Pasalnya, ia sama sekali tak membaca adanya peraturan kalau tidak boleh menggunakan sepatu putih.
Dan Davina, menggunakan sepatu putih sekarang.
Si Kambing Congek menatap sepatunya. "Emangnya nggak boleh? Bukannya nggak ada di peraturannya?"
"BACA GRUP ANGKATAN, DONG!" teriak kakak panitia yang lain. Kali ini, perempuan. Namanya Pamela. Ia lalu berdiri di sebelah Arya.
"Yah, terus gimana? Semalem ketiduran," jawab si Kambing Congek.
Pamela berdecak. "Berdiri di sana!" Ia menunjuk tengah lapangan. Setelah si Kambing Congek pergi, Pamela naik ke atas podium.
"PERHATIAN SEMUANYA!"
"BARIS PER KELAS, SEKARANG!"
Semua murid baru langsung menurut. Barisan terbentuk di belakang palang masing-masing kelas. Davina semakin was-was, karena ia tahu, sebentar lagi akan ada razia sepatu putih. Dan bisa dipastikan, dirinya akan kena.
"Kakak Panitia, silahkan memeriksa sepatu para peserta. Jika ada yang menggunakan sepatu selain hitam, langsung rekap dan keluar dari barisan!"
Para panitia pun mulai bergerak, menyusuri setiap barisan. Davina sudah pasrah. Dan benar saja, tak lama, panitia yang memeriksa kelasnya menatap sepatu dan wajah Davina bergantian.
"Ke depan sana," ujarnya ketus. Davina meringis, lalu keluar dari barisan dan berdiri di sebelah si Kambing Congek. Ternyata, cukup banyak yang tidak membaca peraturan dadakan itu.
"Psst, psst."
Davina menoleh saat mendengar si Kambing Congek mendesis. Ia menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya 'ada apa?'.
"Nama gue Cellus. Nama lo siapa?" tanyanya sok akrab. Davina menatap laki-laki itu aneh.
"Emang kenapa?"
"Kenalan aja," jawab Cellus. "Nama lo siapa, Kodok Jingkrak?" Laki-laki itu membaca papan kardus yang menggantung di leher Davina.
"Davina," jawab Davina pelan nan cepat, membuat Cellus harus mengorek kupingnya dengan kelingking, dan bertanya lagi.
"Hah?"
"Davina."
"Pipin?"
"Davina, goblok!"
"Pipin," Cellus menganggukkan kepalanya. "Kek nama burung."
"Itu pipit!" Davina mulai jengkel. "Gue Davina, bukan Pipin!"
Cellus cekikikan sendiri. "Pipin."
"Hsssh. Terserah!"
Kedua sudut bibir Davina terangkat mengingat kejadian itu. Ia pikir, Cellus benar-benar terganggu pendengarannya saat itu. Tapi ternyata, setelah membaca nama Davina di badge nama gadis itu pun, Cellus masih memanggilnya Pipin. Pipin Nairaya, katanya.
Davina melipat kedua tangannya, lalu menjadikannya bantal. Senyumnya mendadak pudar saat ia sadar, dirinya salah memikirkan Cellus.
"Nggak boleh, Dav. Nggak boleh." Davina menggeleng. Ia tidak boleh memikirkan Cellus dan terjebak semakin dalam.
Sama seperti Cellus, Davina pun punya perasaan yang sama. Semuanya diawali oleh rasa benci karena Cellus terus-terusan mengganggunya. Tapi kelamaan, rasa benci itu mulai berubah menjadi rasa suka.
Perasaan suka itu mulai tumbuh sejak Davina dan Cellus menginjak kelas sebelas, empat bulan yang lalu.
Tapi Davina harus sadar diri. Ia dan Cellus, tidak akan bisa bersatu. Dan Davina akan menyadarkan Cellus. Ia akan mencari momen yang tepat untuk kembali membicarakan hal ini dengan Cellus.
Untuk beberapa saat ke depan, boleh kan, Davina menikmati waktunya bersama laki-laki itu?
***
Pagi menjelang. Sesuai dugaan Davina, Cellus sudah nongkrong di ruang tamu bersama Diego. Keduanya sedang berbisik, entah membicarakan apa.
"Ngapain lo di sini?" tanya Davina, pura-pura tidak tahu.
"Jemput lo," jawab Cellus sambil tersenyum manis. "Sepeda lo kan, di gue. Jadi lo berangkat bareng gue."
Davina mengernyit. "Lo ke sini buat balikin sepeda gue. Terus, kita berangkat sendiri-sendiri."
"Ban sepeda lo udah gue gembosin," jawab Cellus enteng. "Dua-duanya."
Davina melongo. Ia dibuat kehabisan kata-kata oleh Cellus.
"Udah, berangkat sama Kak Cellus aja, Kak," celetuk Diego. Cellus tersenyum puas. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja menjanjikan Diego empat es krim kalau berhasil membuat Davina berangkat bersamanya.
"Ya udah," jawab Davina akhirnya. Ia melangkah keluar dari rumah bersama Cellus dan Diego. Kebetulan, mobil antar jemput Diego datang saat itu.
"Daah, Kak Cellus. Daah, Kak Davina!" pamit Diego sambil melambaikan tangan. Kedua remaja itu membalas lambaian tangan Diego.
"Udah yuk, budhal!" Davina tersentak mendengar suara Cellus. Lalu, gadis itu melangkah masuk ke dalam mobil.
***
Begitu tiba di sekolah, Davina langsung merasa semua mata tertuju pada mereka. Gadis itu berusaha untuk tidak peduli seperti biasa, tapi kali ini, rasanya agak sedikit berbeda. Beberapa orang menatapnya sinis, yang lainnya tampak berbisik saat melihat Cellus dan Davina berjalan beriringan.
"Berasa artis ye kita, Pin. Diliatin gitu." Rupanya, Cellus juga merasa. Davina tak menjawab celetukan Cellus.
Begitu sampai di kelas, Davina dan Cellus langsung dikejutkan oleh suara menggelegar Felix.
"Ciyeee, congrats ya, Say! Akhirnya jadian juga!"
Davina dan Cellus saling berpandangan. Yang satu tersenyum jahil, yang satunya lagi masih bingung.
"Hah?"
"Thanks!"
Incognito - Cellus.
17-7-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...