Hal pertama yang menyambut Nora saat gadis itu membuka matanya adalah bau antiseptik yang begitu menyengat, juga cahaya lampu yang begitu terang hingga membuatnya kesilauan.
Nora langsung mengedarkan pandangannya begitu ia merasa kesadarannya telah terkumpul penuh. Dari bau dan perabotan ruangan serta infus yang menancap di tangannya, Nora bisa menyimpulkan bahwa dirinya sedang berada di... rumah sakit?
Cklek.
Nora langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu dibuka. Gadis itu cukup terkejut saat melihat Cliff berada di sana, menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Sebuah helaan napas lega lolos dari bibir laki-laki berkacamata itu.
"Ada yang sakit?" tanya Cliff begitu sudah berada di samping hospital bed Nora.
Nora menggeleng. Kepalanya memang agak pusing, tetapi ia tak merasa hal itu merupakan sesuatu yang serius.
"Kok aku bisa di sini?"
"Lo pingsan di halte," jawab Cliff. Nora mencoba mengingat apa yang terjadi padanya tadi, namun yang ia dapat hanya rasa pusing hingga membuat gadis itu meringis pelan.
"Nggak usah diinget. Istirahat aja lagi. Lo kena gejala tifus," tutur Cliff, membuat Nora melotot.
"Gejala tifus?"
Cliff mengangguk.
"Masih bisa kerja, kan?"
Cliff berdecak. "Nggak, lo harus istirahat sampe sembuh," jawab Cliff, lebih menyerupai sebuah perintah.
Kedua sudut bibir Nora melengkung ke bawah. "Nggak bisa, Kak. Kalo aku nggak kerja, siapa yang cari uang?"
"Istirahat dulu, Nora." Cliff menatap Nora tajam. Ia mendorong dahi Nora hingga gadis itu kembali berbaring.
Nora akhirnya diam. Gadis itu menatap Cliff yang menarik kursi ke sebelah hospital bed-nya. "Kakak yang bawa aku ke sini?"
"Bukan, gue panggil ambulans. Gue pake motor tadi."
Nora mengangguk. "Makasih, ya, Kak. Kok, Kakak bisa di sana waktu aku pingsan?"
Bukannya apa, Nora hanya... yah, Nora lagi kegeeran, sih.
Cliff yang sedang memainkan ponselnya, kembali menatap Nora dengan sebelah alis terangkat. "Gue mau ambil kue di rumah lo."
Nora mengangguk paham. Ia baru ingat akan hal itu.
Keheningan kembali menyelimuti. Nora sibuk dengan pikirannya sendiri, dan Cliff dengan ponselnya.
"Kak, Kakak nggak bilang ke Bunda, kan?"
"Emang seharusnya gue nggak bilang?"
Detik itu juga, sosok Laila dan Sasa muncul dari balik pintu. Nora menghela napas saat melihat wajah khawatir bundanya.
"Kak, Kakak gimana keadaannya? Ada yang sakit? Masih pusing?" tanya Laila bertubi-tubi.
Nora tersenyum tipis. "Kakak nggak papa, Bun."
"Nggak papa gimana? Kakak sampe diinfus gini." Laila mengusap tangan Nora. "Bunda khawatir banget waktu Cliff bilang kamu masuk rumah sakit karena pingsan di halte."
Nora melirik seisi kamar. Cliff sudah tak terlihat dimana-mana. Mungkin sengaja keluar untuk memberi Nora waktu berbicara dengan bundanya.
"Maaf, ya, Bun. Kakak malah nyusahin Bunda, bikin Bunda khawatir," tutur Nora. Suaranya terdengar serak dan lemah, namun sepertinya gadis itu tak menyadari.
"Nggak papa, Nak. Bunda yang minta maaf, Bunda nggak bisa jagain kamu." Laila menghapus air matanya yang jatuh karena terlalu khawatir tadi. "Sekarang Kakak istirahat, ya. Nggak usah mikirin kerja atau rumah dulu."
"Kakak istirahat di rumah aja bisa nggak, Bun? Kalo di sini, pasti mahal banget biayanya."
Laila mengusap rambut putri sulungnya lembut. "Nggak papa, yang penting Kakak bisa istirahat total. Untuk biaya, Kakak nggak usah pikirin. Biar Bunda yang cari uangnya."
Nora menggeleng. "Jangan, Bun. Udah, Kakak dirawat di rumah aja."
Laila menghela napas. "Nanti Bunda tanya dokter dulu. Kalo dokter bilang Kakak harus rawat inap, Kakak nurut, ya."
Nora pun akhirnya menyetujui. Gadis itu memejamkan matanya saat merasa kepalanya kembali pusing.
"Kakak istirahat dulu, Bunda mau temui dokter." Laila menaikkan selimut yang menutupi tubuh Nora hingga sebatas dada, lalu membawa Sasa keluar untuk menemui dokter.
***
Sudah satu minggu sejak insiden pingsannya Nora di halte. Setelah Laila berkonsultasi dengan dokter, akhirnya semua sepakat bahwa gadis itu dirawat di rumah. Dengan catatan, Nora harus istirahat total, makan makanan yang bergizi, dan minum obat yang diberikan secara teratur.
Selama itu juga, Cliff tak pernah absen menjenguk Nora. Hanya sebentar, dengan dalih mengambil jajanan yang akan dititipkan di restorannya. Laki-laki itu juga sering membawakan makanan untuk Nora dan keluarganya.
"Nda... Kak Cliff dateng!"
Laila buru-buru keluar saat mendengar teriakan Sasa. Senyum wanita paruh baya itu terbit begitu melihat calon menantu idamannya. Eh.
"Masuk, Cliff," pinta Laila. Cliff mengangguk sopan, lalu melangkah masuk setelah melepaskan sepatunya. Laki-laki itu mengikuti Laila ke dapur, mengambil jajan pasar yang dipesannya.
"Keadaan Nora gimana, Tante?"
"Udah sehat, kok. Tapi Tante suruh istirahat dulu sampai bener-bener sembuh. Anak itu, kalau dibolehin kerja, pasti langsung diforsir lagi badannya."
Cliff tersenyum tipis, lalu mengangguk setuju. Nora memang seperti itu, keras kepala kalau diberitahu. Cliff tidak bisa menyalahkan sebenarnya, mengingat Nora tak seberuntung dirinya. Cliff hanya bisa membantu dengan membeli jajanan yang dijual Laila.
Kalau dulu hanya Sabtu Minggu, sekarang setiap hari. Dari yang hanya menitipkan, sekarang Cliff langsung membelinya. Setengahnya akan ia taruh di restoran, dan setengahnya ia bagikan ke panti asuhan dan anak-anak jalanan. Bianca juga ikut mempromosikan kue buatan Laila ke teman-teman kompleks dan teman-teman sekolahnya dulu.
"Kalau gitu Cliff pamit dulu, Tante," pamit Cliff setelah berbincang cukup lama dengan Laila.
"Hati-hati, ya, Cliff. Makasih banyak, kamu mau peduli sama Nora," ucap Laila tulus.
Cliff mengangguk sopan. Laki-laki itu melangkahkan kakinya meninggalkan dapur. Ia berhenti saat melihat pintu kamar Nora terbuka setengah. Gadis itu sedang tidur, begitu damai hingga membuat kedua sudut bibir Cliff terangkat. Lalu, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil.
Hanya sebentar, namun apa yang Cliff lakukan tadi tertangkap jelas oleh mata Laila. Wanita itu tersenyum simpul, tak menyangka akan bertemu laki-laki sebaik suaminya di dunia yang jahat ini.
Jadi pingin jajanan pasar 😩
Incognito - Cliff.
14-8-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...