Pukul lima pagi, Davina sudah sibuk di dapur, memasak nasi goreng sosis dan telur dadar. Ia memasak agak banyak, sekalian untuk sarapan dan bekal Diego. Sisanya, untuk Cellus.
Ya, setelah semalaman berpikir enaknya memberi apa untuk Cellus sebagai tanda terima kasih, Davina memutuskan untuk membawakan laki-laki itu bekal dengan bahan seadanya. Kan, kalau bawa dari rumah, bahan-bahannya pakai uang orang tua Davina. Kalau jajanin Cellus di sekolah, pakai uang sendiri. Jadi mending bawa bekal saja dari rumah.
Setelah nasi gorengnya jadi, Davina bergegas menuju kamar Diego untuk membangunkan sang adik. Hanya ada mereka berdua di rumah, karena Inggrid pergi entah kemana semalam, dan belum pulang sampai sekarang. Tidak ada bedanya kan, dengan papa Davina?
"Go, bangun. Sekolah." Davina menepuk-nepuk pipi Diego pelan. Tak butuh waktu lama untuk Diego bangun. Setelah itu, Davina kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap.
"WAH, NASI GORENGGGG!!" Diego langsung bersemangat saat melihat menu sarapannya pagi ini. Bocah laki-laki itu langsung melahap nasi gorengnya cepat hingga tersedak.
"Uhuk uhuk!"
Davina mengulurkan gelas berisi susu kepada sang adik. "Sukurin. Makanya, makan pelan-pelan."
Diego menenggak susunya hingga habis, lalu menepuk-nepuk dadanya. "Adek keselek malah disukur-sukurin. Kakak mah."
Setelah selesai sarapan, tak lama mobil antar jemput Diego datang. "Kak, aku sekolah dulu."
"Hm. Sekolah yang bener," peringat Davina. Diego mengangguk semangat, lalu berlari kecil menuju mobil antar jemputnya.
Setelah Diego pergi ke sekolah, Davina kembali ke dalam, menyiapkan tas dan bekal untuk Cellus, lalu menaiki sepedanya dan pergi ke sekolah.
***
Sepanjang pelajaran berlangsung, Davina tidak bisa fokus.
Pikirannya sibuk memikirkan bagaimana cara memberikan bekalnya pada Cellus. Padahal, tadi pagi dia mantap sekali hendak memberikan begitu saja tanpa peduli omongan orang. Tapi setelah melihat Cellus dan teman-temannya tadi pagi di koridor dengan fans mereka yang bejibun, tiba-tiba nyali Davina ciut. Gengsinya tiba-tiba melonjak naik.
"Davina Nairaya!"
Davina tersentak kaget saat namanya dipanggil. Gadis itu langsung menegakkan duduknya, menatap Bu Isa, guru Matematika yang terkenal garang dan menyebalkan. Sudah Matematika, garang dan menyebalkan pula.
"Iya, Bu?"
"Bagus ya kamu, pelajaran saya malah melamun! Ngelamunin apa kamu?!"
"SAYA, BU!" Si Cellus tiba-tiba menyahut, membuat seisi kelas tertawa keras. Davina mendengus mendengar teriakan Cellus.
Tapi bener, sih.
"DIAM KAMU CELLUS!" bentak Bu Isa. Tatapannya kembali ke Davina. "Maju sini kamu! Kerjakan soal di depan!"
Mampus, batin Davina. Kalau pelajaran Sejarah sih, Davina bisa-bisa saja. Kalau Matematika? Haduh, Davina itu musuhan sama pelajaran itu. Melihat saja sudah pusing rasanya.
Tak punya pilihan lain, Davina melangkah maju. Ya sudah lah, bisa tidak bisa kerjakan saja. Paling nanti disuruh keluar kalau tidak bisa.
Benar saja, sampai depan, Davina benar-benar tidak bisa mengerjakan. Kepalanya tiba-tiba pusing.
Lama Davina berdiri di depan papan tulis. Sesekali ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Semangat, Sayangku!" Cellus tiba-tiba berteriak lagi, membuat seisi kelas kembali tertawa. Davina yang sudah blank, malah semakin blank.
"Aduh, Bu. Saya nggak bisa," ucap Davina akhirnya. Sudah, ia menyerah. Mau selama apapun Davina berdiri di depan papan tulis, tetap saja itu soal tidak akan terjawab. "Saya keluar kelas aja deh, Bu. Nggak sanggup."
Bu Isa menatap Davina dengan tatapan tajam nan penuh intimidasinya. "Makanya, kalau di kelas perhatikan! Sudah tidak bisa, melamun pula! Keluar dari kelas, jangan masuk sampai pelajaran saya selesai!"
Davina mengangguk pasrah. Terlebih dulu ia mengambil uang di dompetnya untuk jajan sebelum keluar dari kelas. Tujuannya ya satu, kantin. Nasi soto sepertinya enak.
***
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Akhirnya, setelah satu jam pelajaran nongkrong di kantin, Davina bisa kembali ke kelas.
Begitu sampai, Davina duduk di tempatnya, menunggu kelas sepi. Satu jam pelajaran duduk-duduk di kantin, tidak Davina biarkan otaknya menganggur. Ia sibuk memikirkan cara bagaimana memberikan bekal kepada Cellus. Dan cara yang akan Davina pakai adalah, memasukkannya ke dalam tas Cellus saat istirahat berlangsung.
Hanya butuh waktu lima menit sampai kelas benar-benar sepi. Kelas Davina ini, penghuninya tidak betah berlama-lama di kelas, termasuk Davina. Kalau istirahat ya langsung kabur. Entah ke kelas teman, kantin, lapangan, atau rooftop sekolah untuk merokok.
Setelah dirasa aman, Davina mengambil kotak bekal dari dalam tas, lalu berjalan menuju bangku Cellus. Ia memasukkannya ke dalam tas laki-laki itu, lalu segera keluar dari kelas. Maia masih belum masuk sekolah, jadi Davina pergi ke perpustakaan untuk baca novel.
***
"Dari mana lu berdua?" tanya Kai pada Felix dan Cellus yang baru datang ke basecamp. Mereka membawa banyak sekali kantung kresek hitam berisi jajanan yang dijual di depan sekolah.
"Dari parkiran," jawab Felix. Ia dan Cellus duduk di lantai, lalu mengeluarkan semua makanan yang sudah mereka beli. Ada pentol, batagor, nasi kucing, cireng micin, telur gulung, waffle mini, dan masih banyak lagi. Sengaja beli banyak untuk makan berenam. Mereka ini, meskipun laki-laki, tapi tidak pelit. Kalau beli makanan, semua pasti dibelikan.
"Ngapain? Nggak mungkin cuma buat jajan doang," tanya Fauzan. Ia sudah menyambar satu plastik pentol dan telur gulung.
Felix melirik Cellus yang tersenyum penuh arti. "Ntar juga lo tau sendiri."
Incognito-Cellus.
5-7-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
INCOGNITO ✓
Teen Fiction[SEQUEL BETWEEN LOVE AND LIES] Kesal karena dianggap hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak sang ayah, Cellus mengajak kedua saudara kembarnya untuk masuk ke sekolah yang berbeda-beda, tanpa menggunakan embel-embel nama Williams. Tiga remaja di tig...