Mentari pagi telah bersinar, burung-burung berkicau riang, sinar mentari pagi hari itu menyelinap di celah dedaunan, cahayanya lolos di balik jendela kamar, menyinari wajah cantik seorang gadis yang tengah tertidur lelap di pagi hari. Cahaya terang tersebut, mampu mengusik tidur lelapnya.
"Eugh ...." Lenguh gadis tersebut, disaat cahaya mata hari menyinari wajah cantiknya, gadis itu adalah Clarisa putri semata wayang keluarga Wijaya.
"Bangun sayang ini udah jam berapa! Kamu harus pergi ke sekolah hari ini, ayo cepat kamu mandi dan siap-siap," tukas Mami Evi, yang tak lain Ibu kandung dari Clarisa.
"Mami Clarisa masih ngantuk nih, lima menit lagi ya, Mi," jawab Clarisa, sambil menutup matanya kembali.
"Engga boleh Risa! Lihatlah jam, sekarang sudah hampir jam 7 loh, hari ini adalah hari pertama kamu masuk sekolah, kamu harus berubah, Nak," ucap Mami Evi, yang terus membangunkan anak semata wayangnya itu.
"Pokonya Mami enggak mau tau, ya! Mami tunggu di bawah sepuluh menit lagi untuk sarapan, Papi kamu sudah menunggu di bawah," sambung Mami Evi, lalu ia bergegas pergi meninggalkan kamar anaknya itu.
"His ... Mami! Iya, iya. Clarisa mandi nih, sekarang," ucap Clarisa segera bangun, lalu bergegas untuk ke kamar mandi.
Di meja makan pagi itu sepasang suami istri tengah berbincang-bincang.
"Mana Clarisa, Mi?" tanya Bramasta Wijaya, yang tak lain adalah suami dari Mami Evi, Ayah kandung Clarisa.
"Kenapa tidak ikut turun bersama, Mami?" tanyanya lagi kepada Istrinya.
"Dia masih mandi Pi, banguninnya susah banget," keluh Mami Evi pada Suaminya.
"Anak itu, selalu saja begitu! Tidak ada perubahan sama sekali, sepertinya Papi harus bertindak lebih tegas lagi," ujar Papi Bram.
Ya, sebenarnya Clarisa tidak terlalu dekat dengan sang papi, selain tegas dan sibuk dengan urusan bisnisnya, papinya juga merupakan sosok yang terkesan pemaksa, apapun yang dikatakannya harus dituruti.
"Pi, udah! Kasian Risa," ucap Mami Evi pada suaminya.
"Mami ini, selalu saja membela anak itu," ujar Papi Bram.
Tap! Tap! Tap!
Seorang gadis cantik memakai seragam sekolah lengkap, menuruni anak tangga menuju meja mekan, di mana di sana sudah ada Mami Evi dan Papi Bram yang menunggunya.
"Pagi, Mi, Pi, Bi," sapa gadis tersebut kepada mami, papi, dan Bi Suryah yang tak lain adalah pembantu rumah tangga di rumah itu.
"Pagi, Sayang," sahut Mami Evi.
"Pagi juga, Non," jawab Bibi Suryah
Mami Evi dan Bi Suryah sama-sama menyahuti sapaan Clarisa sambil tersenyum, terkecuali Papi Bram.
Clarisa duduk di kursi tepat di hadapan sang Mami, Clarisa sejenak melirik papinya, yang kini tengah melihatnya, dengan tatapan tajam.
"Clarisa ... mau sampai kapan kamu seperti itu," ucap Papi Bram, sambil menatap tajam putrinya.
"Pi, udah! Kasian Risa, Biarin Risa sarapan dulu ya, Pi. Dia harus pergi ke sekolah hari ini," ucap Mami Evi menenangkan, sambil sesekali mengusap bahu Suaminya.
"Apa pedulinya, Papi? Toh, Papi enggak pernah peduli sama Risa selama ini," jawab Clarisa santai, sambil mengambil sarapannya.
"Clarisa! Kenapa kamu berbicara seperti itu, kamu disekolahkan supaya punya pendidikan, dan saat berbicara dengan orang yang lebih tua kamu punya sopan santun serta etika. Terlebih, saat berbicara dengan orang tua kamu sendiri," ujar Papi Bram marah.
"Jujur ... Papi kecewa dengan sikap kamu Clarisa. Papi malu memiliki anak perempuan tidak beretika seperti kamu," sambung Papi Bram, lalu dia meletakkan sendok yang tengah dipegangnya tadi, dan berniat untuk pergi meninggalkan meja makan.
"Sopan santun apa, yang Papi maksud ini?" tanya Clarisa, sambil menyeritkan sebelah alisnya.
Papi Bram mengurungkan niatnya, saat mendengar Clarisa berbicara.
"Apa hak, Papi bilang seperti itu? Apa selama ini, Papi menganggap Clarisa ini sebagai anak, Papi? Apa Papi ada disaat Clarisa butuh, Papi? Apa Papi mengajarkan semua itu padaku? Tidak, 'kan?!" sambung Clarisa, dengan suara tinggi dan sedikit berteriak.
Plak!
Sebuah tengan besar mendarat sempurna di pipi gadis tersebut, suara tamparan seketika menggema di ruang makan pagi itu, semua itu adalah ulah Papi Bram yang menampar pipi Clarisa.
"Papi! Papi apa-apaan, sih," marah Mami Evi kepada suaminya, saat suaminya itu menampar pipi sang putri.
Clarisa hanya duduk mematung di tempatnya, sambil memegang pipinya yang mulai memerah, akibat tamparan dari sang papi.
Tak lama Clarisa beranjak dari duduknya, dan mulai berbicara.
"Clarisa pamit, Mi, Pi," ucap Clarisa. Ia bergegas pergi meninggalkan sarapannya, yang belum selesai ia santap itu. Ia berjalan dengan pandangan kosong, serta air mata yang menggenang di kedua pelupuk matanya.
"Risa!" panggil Mami Evi dengan suara lembut.
Clarisa terus saja berjalan menuju pintu utama, tanpa menghiraukan panggilan dari sang mami kala itu. Terus berjalan keluar dari rumah tersebut, dan pergi ke sekolah menggunakan mobil pribadi, di antar oleh Mang Dodi, yang merupakan supir keluarga Wijaya tersebut.
Maaf kalau banyak salahnya, soalnya baru belajar buat🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Karena Perjodohan
Teen FictionAssalamu'alaikum... Deskripsi dari judul cerita ini adalah: Meraungi kisah cinta, persahabatan dan hidup seorang gadis remaja berumur 18 tahun yang bernama Clarisa Alnindita Wijaya, yang tumbuh menjadi gadis dewasa tanpa kasih sayang yang penuh dari...