Episode 72 (Kekacauan)

1.3K 100 23
                                    

Tiba di sesi tukar cincin, Arka dan Nadia dipersilahkan oleh MC untuk berdiri di bagian depan panggung. Sorak riuh tepuk tangan terdengar di ruangan tersebut, sedangkan Zaskia, ia hanya mampu memejamkan kedua matanya ketika melihat adegan tersebut.

Arka dengan perasaan gundahnya mulai mengambil kotak cincin di saku jasnya. Ia menyempatkan diri untuk melirik ke arah Zaskia, namun genggaman jemari Nadia pada lengannya menyadarkan semua lamunannya.

"Ayo Arka, pasangin cincinnya," titah Nadia, seraya mengulurkan jemarinya.

Arka mulai membuka kotak cincin tersebut, sehingga terlihatlah sebuah cincin berlian yang sangat indah di desain khusus oleh sang mamah.

Arka mengepalkan tangannya kuat, bersamaan dengan hatinya yang kembali berkecamuk tak menentu.

Sama halnya dengan Zaskia ia mulai merubah posisinya, dan menunggu waktu yang tepat untuk segera pergi dari sana. Hatinya sudah tidak cukup kuat, untuk menahan segala gejolak yang tiba-tiba saja menyerang dirinya.

Arka mulai meraih jemari Nadia dan hendak menyematkan cincin tersebut di jemari lentik Nadia. Namun semua itu ia urungkan, saat dirinya melihat Zaskia berlari meninggalkan ruangan tersebut.

Arka meraih microofon dari tangan MC, lalu ia berucap singkat, sebelum akhirnya ia juga ikut meninggalkan ruangan tersebut.

"Mohon maaf untuk semuanya, saya tidak bisa melanjutkan pertunangan ini," setelah mengucapkan itu Arka berlari menyusul langkah Zaskia yang entah pergi kemana.

"ARKA! KEMBALI!" titah sang ayah secara berteriak. Namun Arka terus berlari tanpa memperdulikan teriakan sang ayah, dan Nadia perempuan yang sama sekali tak ia cintai itu.

"Cukup, Pah! Papah boleh mengusir Mamah dan Arka dari rumah ini, tapi tolong Papah biarin Arka mengejar kebahagiaannya sendiri!" ujar Mamah Dista kepada suaminya.

"Maksud kamu apa, Dista?" tanya Papah Arka.

"Arka mencintai gadis lain, dan Mamah mohon sama Papah, tolong biarin Arka mengejar cintanya, Pah! Bukannya selama ini anak itu terus menuruti keinginan Papah, jadi Mamah mohon sekali ini aja, Pah!" ucap Mamah Dista terisak dan hendak berlutut di hadapan sang suami. Namun, semua itu dihentikan oleh sang suami.

* * *

Brayn dan Clarisa juga semua para tamu, semuanya sudah bubar sejak tadi. Kali ini Brayn mengajak Clarisa untuk segera pulang, tetapi bukan ke rumahnya melainkan ke apartemennya.

"Loh kok, pulangnya ke sini?" tanya Clarisa bingung.

"Kenapa? Aku maunya di sini, kok," sahut Brayn. Ia menggendong Clarisa ala birdstyle ke dalam apartemennya.

"Kenapa enggak ke rumah saja?" tanya Clarisa saat berada dalam gendongan Brayn.

"Aku ingin berduaan sama kamu," ucap Brayn berbisik di telinga Clarisa.

"Ih, geli ...!" ucap Clarisa kesal.

Brayn menjatuhkan tubuh Clarsa di atas tempat tidur, lalu ia menindih tubuh Clarisa.

"Awas, ih! Berat, tau!" ucap Clarisa seraya menggeliat.

Bukannya berpindah, Brayn malah menyimpan kepalanya pada ceruk leher Clarisa. Ia menghirup aroma khas vanilla milik Clarisa. Terasa sangat nyaman, sekaligus memabukan.

'Sitt ...!' Umpat Brayn dalam hati. Ia benar-benar harus menahan dirinya, jika berdekatan dengan Clarisa. Namun, bukankah ini adalah sesuatu yang normal bukan. Masih untung dirinya bisa menahannya hingga satu tahun lebih, terlebih mereka adalah pasangan suami istri yang sah secara hukum dan agama.

"Sa!" panggil Brayn seraya menghembuskan nafasnya di kulit leher Clarisa. Hal itu membuat Clarisa menggeliat tak nyaman, dengan sesekali hampir mengeluarkan suara des*hannya.

"Jawab dong, Sayang ...!" titah Brayn. Kali ini ia berbisik tepat di telinga Carisa, dan dengan sengaja meniupi daun telinga Clarisa.

"I--iya, a--kuh ngan--ah!" jawab Clarisa tak karuan. Brayn tersenyum melihat reaksi sang istri.

"Lepas, aku ngantuk!" Clarisa berusaha mendorong tubuh suaminya, namun tak kunjung terdorong.

"Aku mau kamu," bisik Brayn lagi.

Degh!

Kedua mata Clarisa membola, seiring keluarnya kata-kata tersebut dari bibir Brayn.

"A--aku lagi datang bulan," sahut Clarisa.

"Hah ...!" Brayn membalikkan posisinya hingga terlentang di samping tubuh Clarisa.

Clarisa yang mendengar helaan nafas berat Brayn, hanya tersenyum geli, melihat kelakuan mes*m suaminya itu.

'Gue janji, sebelum gue berangkat ke jepang, lo harus jadi istri gue sepenuhnya Clarisa Alnindita Wijaya,' ucap Brayn membantin.

Keduanya kini sama-sama terlelap, di bawah balutan selimuta tebal.

Bersambung ....

Menikah Karena PerjodohanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang