Aroma yang mengingatkanku pada bau hotel mahal menjadi hal pertama yang mengiringi kembalinya kesadaranku. Kukira aku sudah mati ㅡatau setidaknya gegar otak setelah dihantam tepat di tengkuk, tapi nyatanya aku cuma sedikit pusing. Siapapun yang melakukan itu, pasti profesional. Dia tahu betul bagaimana melumpuhkan seseorang tanpa mencederai.
Saat sudah sepenuhnya sadar, sambil mengerjap aku melihat ke sekeliling. Ruangan tanpa jendela dengan atap tinggi, interiornya mewah dengan warna merah mendominasi. Ada beberapa sofa mewah di sudut ruangan dan beberapa perabotan merah lain. Ini seperti semacam ruang tunggu untuk artis yang akan tampil di panggung. Berarti ini masih di dalam Constanzi ㅡkurasa.
Geraman tertahan membuatku tersentak. Aku menatap ke sumber suara, lalu terbelalak saat melihat Red Hawk. Dia luput dari pandanganku karena memakai baju warna gelap seperti tirai yang menjuntai di belakangnya. Aku menelan ludah karena mendadak tenggorokan ini kering kerontang.
"R-red..." gagapku.
Apa yang ada di hadapanku saat ini benar-benar membuat ngeri. Red Hawk tampak berusaha berontak, dia diikat di kursi dan mulutnya dibungkam semacam scarf. Penampilannya berantakan, tanpa bertanya pun aku bisa tahu dia baru dihajar habis-habisan.
Kami sudah ketahuan.
Tidak seperti Red yang babak belur, aku baik-baik saja. Walaupun tanganku diikat ke kursi dengan sesuatu yang lembut seolah siapapun pelakunya sengaja tidak ingin melukaiku. Atau mungkin belum. Memang siapa lagi yang melakukan semua ini pada kami kalau bukan...
Prok prok prok
Terdengar suara bertepuk tangan dari arah belakangku. Red Hawk makin berusaha berontak sementara aku ketakutan setengah mati. Sekitar selusin laki-laki masuk, dua diantaranya menyeret lelaki yang jadi korbanku dan Red Hawk. Gustavo.
"Straordinario!" seru seseorang.
Saat otakku sedang berusaha memproses ucapannya dengan bahasa Italia yang kupelajari selama ini, sebuah tangan menarik bagian belakang rambutku sampai kepalaku terdongak ke atas.
Itu dia. Don.
Untuk pertama kalinya kami bertatapan langsung. Kesan pertamaku saat melihatnya adalah ambisi. Dilihat dari dekat, kurasa kami seumuran atau dia hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Dan walaupun aku juga laki-laki, kuakui Don sangat tampan. Wajahnya kalem dan berwibawa secara natural, dengan rambut dan mata sewarna serta kulit halus tanpa cela. Mirip vampir tapi kulitnya sehat kecoklatan. Sorot matanya sulit dijelaskan. Antara ambisi, kecerdasan, karisma, dan tentunya bercampur dengan amarah.
"Let him go," ucapku pada lelaki itu, meminta dia melepaskan Red Hawk walaupun saat ini aku juga sangat ketakutan.
Di seberang sana Red menggeram dan berusaha berontak lagi, lalu dua orang di kanan kirinya memberi dia tinju di wajah dan perut. Sementara itu Don mendecih, tersenyum sembari mengatakan kalimat yang tidak kumengerti artinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."