chapter 18: mafia game [2024]

9.2K 1.9K 1K
                                    

Selama belasan tahun aku terbiasa bangun tanpa alarm, seolah tubuh ini sudah tahu sendiri kapan harus bangun. Pagi ini juga, aku bisa dengar dekut burung cuckoo yang hinggap di balkon apartemen ㅡpadahal lumayan jauh jaraknya dari ranjang tempatku berbaring. Secara otomatis mataku terbuka, perlahan kehilangan kantuknya saat sadar ini sudah pagi.

Jam enam.

Langit yang mulai terang di luar sana tampak samar karena terhalang tirai kelabu. Tanganku terentang meraba ke kanan dan kiri kasur, tempat Liv biasanya meringkuk. Kosong ㅡdia tidak ada. Berarti cuma ada dua kemungkinan; dia sudah bangun atau ketiduran di luar lagi seperti kemarin.

Sambil menguap, aku mencari kacamata dan kaos lalu keluar dari kamar sambil memakainya. Ruang tengah apartemenku super berantakan. Dua laptop yang masih menyala, buku-buku tebal, belum lagi kertas-kertas entah apa, cangkir bekas kopi, sampah kemasan makanan, semua berserakan. Pelaku dari kekacauan ini tidur meringkuk di kolong meja, memeluk plushie semangka. Livia Byun.


"Kan, kebiasaanㅡ tidur di sini lagi," keluhku. Sudah beberapa kali Liv ketiduran saat sedang belajar dan paginya kutemukan di kolong meja seperti di film Parasite.

"Livㅡ ah, percuma. Pasti nggak akan bangun," aku bicara sendiri sambil berjongkok di depan Livia Byun. "Oke, ayo langsung pindah aja ke kasur. Hari ini kamu bimbingan skripsi jam sembilan kan? Masih bisa tidur satu atau dua jam lagi."

Aku menarik Liv dari kolong meja. Berani taruhan, cuma dia yang tidur di kolong meja dengan gaun tidur velvet warna hijau gelap seharga mobil. Bahkan mau tidur saja penampilannya berlebihan. Memang harusnya kami tinggal di istana, bukan apartemen.

Liv masih bergeming sampai kubaringkan di kasur. Kelihatannya dia lelah sekali. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak kontras dengan kulit wajah yang pucat. Mungkin kalau ada alarm kebararan bunyi juga dia tidak akan bangun saking pulasnya.

"Sleep well," ucapku sambil mengusap sisi wajahnya.

Setelah mengatur alarm di atas nakas, aku keluar lagi dari kamar. Buku-buku, dokumen, dan sampah Liv kurapikan satu-persatu. Aku beres-beres sampai apartemenku tampak manusiawi lagi ㅡdan nanti Liv bisa membuat tempat ini berantakan lagi. Setelah itu cuci piring, mandi, lalu masak sarapan.

Rutinitas ini sudah berlangsung beberapa hari.

Sejak hari itu tentunya, sejak Liv mengakui hampir semua hal yang ia sembunyikan. Ya, hampir. Karena aku sampai sekarang belum tahu ke mana persisnya dia pergi selama ini. Dia cuma bilang bernegosiasi tanpa menjelaskan detailnya. Sekarang kalau mau pergi setidaknya dia bilang dulu padaku. Itu cukup untuk membuatku merasa dihargai.

Untuk sementara, keadaan cukup tenang. Apartemen adalah tempat yang tepat untuk berkamuflase karena Liv dan aku sama-sama punya satu unit di lantai berbeda. Padahal, sekarang kami berdua tinggal di unit apartemenku ㅡwalaupun dalam sehari biasanya hanya bertemu sangat sebentar. Kadang aku pulang saat Liv sudah tidur, dan pergi lagi waktu dia belum bangun. Atau kadang sebaliknya, aku tidur duluan dan Liv ketiduran di luar sampai pagi.

Tidak masalah. Yang penting Liv adalah orang pertama yang kulihat di pagi hari, dan terakhir kulihat sebelum aku tidur malamnya. Berbagi cerita singkat setiap hari, saling menyemangati dan bersandar saat lelah. Kami sudah sepakat untuk nekat saling mencintai, walaupun ada kemungkinan hubungan ini bisa berakhir kapan saja.

Ah, tidak. Tidak akan kubiarkan berakhir.

Aku sudah berjanji pada diri sendiri, sejak detik itu, Liv tidak akan kubiarkan berjuang sendiri.




Aku sudah berjanji pada diri sendiri, sejak detik itu, Liv tidak akan kubiarkan berjuang sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang