Sulit untuk mengakui tanpa rasa gengsi kalau Livia Byun memang nyatanya jauh lebih kuat daripada aku.
Saat Daniel tidak sadarkan diri aku cuma bisa panik dan terduduk lemas sementara Liv berusaha melakukan pertolongan yang aku tidak mengerti. Dia menyeret penjahat yang kami tangkap, memapahku sekaligus menggendong Daniel ke van, lalu membawa kami bertiga ke rumah sakit. Semua itu dia lakukan tanpa tampak kesakitan atau mengeluh sedikitpun. Anak-anak bangun semua dan kaget karena Liv ngebut. Pun, aku tidak mampu bergerak untuk menenangkan mereka.
Itu hal terakhir yang kuingat, karena setelah itu akal sehatku seolah tidak bisa dipakai untuk berpikir jernih walaupun tetap sadar. Entah kenapa aku mati rasa. Dan saat bangun aku sudah ada di kamar rumah sakit. Badanku sakit semua, terutama tangan kanan yang sekarang dibebat perban dan gips. Kurasa mukaku bengkak sampai sulit membuka mata.
Sraaak
Terdengar suara pintu digeser pelan, lalu sosok yang paling kutakuti saat ini muncul ㅡkakakku.
"J-james..." suaraku bergaung di dinding rumah sakit.
James berhenti melangkah setelah kupanggil. Dia mematung, mata sembabnya nya yang menatapku perlahan tergenang air. Tidak ㅡjangan bilang...
"James, sorry..." ratapku.
Selangkah demi selangkah kakakku mendekat, gontai. Kedua tangannya terulur ke depan ㅡmungkin dia mau membunuhku dan aku bahkan tidak keberatan. Kalau nyawa bisa ditukar, lebih baik aku yang mati daripada Daniel. Dia cuma anak kecil tidak berdosa.
Ternyata alih-alih mencekik leherku, tangan James merengkuh punggungku dengan hati-hati. Dia memelukku, lalu menghela napas lega. "Thank God, you're safe..."
"No, James," aku menyangkal, wajahku terasa pedih saat basah karena air mata. "Daniel mana? Liv? Anak-anak? Mereka di mana sekarang?"
Kakakku melepaskan pelukannya. Dari dekat baru tampak jelas dia begitu kacau. Selama ini James selalu usil, ini pertama kalinya aku melihat dia sangat sedih.
"Daniel masih operasi sekarang, tulang rusuknya patah kena paru-paru dan hati. Untung Liv kasih pertolongan pertama terus buru-buru bawa kalian ke rumah sakit," sahutnya sambil menangis.
Setelah mendengar itu, semua rasa sakitku jadi mati rasa. Aku tidak sanggup lagi menatap wajah kakakku dan mulai meratap sambil mencengkeram lengan bajunya.
"Noㅡ James, I'm really sorryㅡ""Mark, ini kecelakaan. Bukan salah kamu atau Liv. Sekarang kita cuma bisa berdoa operasi Daniel berjalan lancar..." James menjeda dengan senyum getir. "Dan kalaupun gagal, berarti... Tuhan lebih sayang Daniel."
Tidak, James. Kalau gagal, lebih baik aku menghilang saja dari dunia ini. Kalau Daniel sampai meninggal aku tidak akan bisa menghadapi kakakku, istrinya, dan orang tua kami.
"Di mana ruang operasinya? Aku juga mau ke sanaㅡ"
Aku mau turun dari ranjang rumah sakit tapi buru-buru dicegah.
"Jangan, Mark. Kamu patah tulang, nggak boleh banyak gerak dulu," James menunjuk lengan kananku. "Ruang operasi Daniel terlalu jauh dari sini. Nggak apa-apa, di sana Daniel udah ditungguin sama yang lain."
"Penjahatnyaㅡ di mana si brengsek itu sekarang??"
"Ada di rumah sakit ini juga, di ruangan khusus. Kamu nggak akan bisa ke sana karena dijaga polisi."
Aku memegangi kepala dengan frustasi. "Liv," gumamku. "Dia di mana sekarang? Is she okay?"
"Our hero. She's fine now, ada di ruangan sebelah," James tersenyum hambar. "Kamu mau ke sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."