Happy birthday to our main character, Mark Lee!
*****Sejak baru tertembak aku sudah yakin; tidak akan semudah itu membunuhku.
Tapi masalahnya, Mark Lee.
Kalau sampai dia yang tertembak, pasti lain ceritanya. Karena itulah hal pertama yang kuingat setelah terbangun di bawah plafon putih rumah sakit hanya dia. Secara reflek air mataku bercucuran begitu ingat kalau sebelum aku pingsan, ada suara desing peluru lagi.
Bukan Mark kan yang tertembak?
Peluru ke-dua juga mengenai aku juga kan, bukan dia?
Tapi aku cuma merasa sakit di bagian bahu. Apa ini berarti...
"Porongbyun?? Kamu udah siuman? Sejak kapan? Ehㅡkenapa nangis??"
Suara panik itu berasal dari sebelah tempat tidur tempatku berbaring. Tadinya kukira dia Mark, tapi ternyata bukan. Walaupun sangat mirip, tapi ini kakaknya Mark Lee. Orang yang sudah memperlakukan aku seperti adiknya juga. Kedua matanya membulat, menatapku khawatir, kulihat bajunya setelan hitam-hitam. Jangan bilang...
"Mark... mana??" tanyaku panik sambil berusaha bangun.
"Hei, jangan bangun dulu, kata dokter nggak boleh!" larangnya.
"Mark mana??" ulangku, ngotot.
"Sssh, jangan nangis," dia menepuk-nepuk pundakku. "Mark ada di IGD. Barusan pingsan gara-gara di sini terus nungguin kamu, nggak mau makan, nggak tidur sama sekali hampir tiga hari. Hehㅡ Livia Byun! Jangan dicopot infusnya! Kamu mau ke mana??!"
Informasi singkat itu sudah cukup. Aku melepas paksa semua peralatan medis yang menempel di tubuhku, makanya kakak berteriak-teriak. Tapi tidak kuhiraukan, setelah semua berhasil dilepas aku langsung berlari ke luar kamar. Dia tidak punya pilihan selain mengejarku.
"Liv Byun! Heh!!" teriak lelaki itu lagi saat aku buru-buru menekan tombol lift supaya tertutup sebelum dia masuk. Terlambat, dia berhasil menahan pintu dengan tangannya.
"Jangan panggil suster, please," aku memohon, memasang wajah super memelas. Untung lift kosong, jadi tidak ada yang lihat adegan kabur-kaburan ini.
Kakaknya Mark menatapku sementara napasnya masih agak terengah-engah. "Ck, dasar anak nakal. Minggir."
Aku bergeser dan dia masuk, berdiri di sebelahku. Jarinya menekan tombol untuk menutup pintu, setelah itu tombol lantai dasar. Akhirnya aku bisa menghela napas kelegaan. Kukira kakak mau menyeretku kembali ke ruangan tempat aku dirawat tadi.
"Buat ukuran orang yang baru operasi luka tembak, kamu ganas juga ya," ujarnya. "Larinya cepet banget, padahal baru siuman."
"M-maaf," sahutku canggung. Sekarang baru terasa efeknya. Gara-gara lari, sekitar lubang peluru di bahuku berdenyut nyeri. Tapi tentu saja aku menyembunyikan rasa sakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."