I fight my insecurities and bring this back to you.
So, thank you ㅡand enjoy.Kalian tahu?
Tepat setelah Livia Byun menyebut seseorang yang sangat mirip dengan Red Hawk di foto keluarganya dengan sebutan ayah, waktu seolah berhenti bagiku.
Entah ini shock berat atau apa, kejadian setelah itu seperti mengabur. Bagaikan melihat pusaran buih saat mengaduk cappucino. Yang kuingat hanya betapa takut dan cemasnya aku semalaman. Padahal hari ini sangat melelahkan, tapi alih-alih tidur pulas aku malah terjaga sampai pagi.
Sudah kucoba minum obat tidur, obat penenang, atau memeluk Liv untuk menenangkan diri, tapi tidak ada hasilnya. Aku membayangkan bagaimana kalau ternyata Red bersekongkol dengan keluarga Liv dan akan membawa dia pergi kapan saja ㅡtanpa peringatan. Atau mungkin Red selama ini berpura-pura ada di pihakku supaya aku tidak benar-benar mengacaukan perjodohan Liv dengan Don?
Oh, perutku sampai mual saat membayangkan jutaan kemungkinan yang semuanya negatif.
Tentu saja aku tidak bilang pada Liv kalau ayahnya mirip Red Hawk. Pertama, Liv tidak boleh tahu soal Red. Kedua, aku harus berpikir jernih dulu dan mencerna keadaan. Jadi aku berusaha menahan diri ㅡsetidaknya sampai pagi, untuk tidak berlari ke tempat tinggal Red Hawk dan minta penjelasan. Tidak mungkin aku meninggalkan istriku yang baru kunikahi beberapa jam.
Akhirnya ufuk timur mulai sedikit terang. Salju masih turun, ini hari natal tanpa sedikit pun rasa hangat dan bahagia ada dalam hatiku. Aku turun dari kasur tanpa membangunkan Liv. Setelah muntah-muntah karena serangan panik yang ditahan semalaman, tanpa ingat mandi atau mencuci muka aku langsung berganti baju seadanya.
Dari kamar aku menuju ruang kerja. Ada berangkas besi di balik lukisan semangka di dinding. Ini rahasia, aku menyimpan pistol di sana. Red Hawk mengajariku menembak untuk jaga-jaga. Senjata api ini juga dia yang membantu beli. Sekarang pistol ini akan kubawa ㅡwalaupun kuharap tidak perlu menggunakannya. Apalagi untuk menembak dia.
Demi Tuhan, kalau ternyata Red Hawk seseorang yang berbahaya dan aku membuka jalan baginya untuk menyakiti Liv, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Di sisi lain, pedih rasanya mengingat betapa Red sudah sangat kupercaya. Kalau ada dia, sisi lain dunia Liv yang mengerikan jadi terasa jauh lebih aman.
Tuhan, tolong, kuharap Red Hawk bukan pengkhianat.
Walaupun hati ini terus mengatakan sebaliknya...
Jam enam pagi aku melaju cepat di jalanan kota Seoul yang diapit tumpukan salju. Suhu pagi ini dingin sekali, tapi kulitku rasanya kebal ㅡatau sebenarnya mati rasa. Karena tahu Red bisa menyadap ponselku, jadi kumatikan. Sebagai gantinya aku membawa handphone lain untuk jaga-jaga menelepon polisi.
Oh iya, soal obrolanku dan Liv saat melihat-lihat foto tadi malam tidak mungkin disadap Red. Ponsel kami ditinggal di kamar. Kecuali kalau Red menyadap rumahku juga. Kuharap sih tidak. Semua kemungkinan buruk ini membuatku gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."