chapter 33: wrong energy

2.7K 651 147
                                    

Haiii aku semakin baikan~
Semoga ke depannya jadwal upload juga baikan yaa haha

Tinggalkan like, comment, dan share yang banyak biar aku tau ini masih ada yang baca.
Terima kasih~





~~~~~





Masih ingat kan saat aku bilang Liv jadi tampak berbeda?

Ya, aku merasa dia makin cantik dan bersinar. Tapi selain itu, dia juga makin menyebalkan. Bukan menyebalkan gemas seperti biasanya ya ㅡini menyebalkan sungguhan. Walau sebenarnya masih bisa kutoleransi, sih.

Misalnya begini. Dia jadi sering merengek ingin selalu ditemani, tapi kalau aku sudah datang katanya Liv sebal melihat mukaku ㅡdan aku tidak boleh tersinggung karena nanti dia akan menangis kalau aku tampak kesal. Intinya dia ingin ada di dekatnya, tapi tidak terlalu dekat. Harus jaga jarak.

Bingung kan?

Aku curiga perubahan sikap Liv terjadi karena residensinya. Soalnya dia jadi menyebalkan begitu sejak mulai co-ass di  rumah sakit. Mungkin dia kaget dengan perubahan lingkungan, harus menghadapi pasien yang latar belakangnya macam-macam, menjaga sikap di depan semua orang, menghadapi dunia kerja yang melelahkan. Bahkan sering juga dia sampai tidak sempat pulang ke rumah. Liv yang seumur hidup jadi bos yang punya banyak pelayan pasti sulit menyesuaikan diri menjadi melayani masyarakat.

Tapi apa itu semua boleh jadi alasan untuk berubah jadi menyebalkan? Jujur, aku kadang tidak tahan dengan kelakuannya.




"Kamu sadar nggak sih kayaknya ada yang salah di diri aku?" tanya Liv tiba-tiba ketika sedang bersiap mau berangkat residensi di rumah sakit.

ADA BANGET LIV.

Tapi itu cuma jeritan hatiku. Jujur aku tidak berani bilang yang sebenarnya karena akhir-akhir ini Liv lebih sensitif. Mood-nya berubah lima menit sekali.

"Miawww!" Leon mengeong keras.

"Miaw!" Noel ikut menyahut.

Dua kucing ini seolah menanggapi pertanyaan Liv yang ditujukan padaku ㅡdan sepertinya itu eongan setuju. Mereka juga jadi korban betapa menyebalkannya nyonya rumah akhir-akhir ini.

"Hah? Nggak," aku akhirnya memilih berbohong. "Emang apa?" tapi sekaligus memancing dia membahas apa yang sebenarnya ia rasakan.

"Beneran?" Nah, Liv tidak percaya.

"Iya bener, sayang. Emang yang kamu rasain gimana? Salah gimana?"

Liv menghela napas di depan jas dokternya. "Hm... aku rasanya nggak mau jauh dari kamu. Misalnya sekarang, nggak mau berangkat kerja. Males banget."

Kuhampiri Liv lalu kupeluk. "Jangan gitu dong, kan biar cepet jadi dokter harus residen dulu. Aku udah bela-belain nih pulang dulu biar bisa anterin kamu berangkat ke rumah sakit."

More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang