chapter 40: fate

14.9K 3.4K 1.2K
                                    

Kangen POV dari Mark Lee nggak kayak Frenemy second half dulu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kangen POV dari Mark Lee nggak kayak Frenemy second half dulu?

*****







Sepertinya aku pingsan, tapi masih tersisa sedikit kesadaran karena aku bisa merasakan diangkat entah siapa lalu dibaringkan lagi ke kasur. Nyeri yang berpusat dari luka tembak  di bahuku perlahan membaik seiring berbagai alat ditancapkan pada tubuhku. Ya, aku bisa merasakan semua itu samar-samar. Tapi terlalu lemah untuk membuka mata atau mendengar.

Setelah itu mungkin aku ketiduran. Soalnya, saat bangun lagi langit tampak sudah agak terang di luar jendela. Ada orang yang duduk tempat di samping ranjangku. Kali ini bukan kakak, tapi seseorang yang masih memakai kemeja putih dengan noda darah. Rambut hitam kecoklatannya kusut berantakan, dengan wajah super lelah dibingkai kacamata bulat. Tanpa melihat semua itu pun aku sudah mengenali baunya duluan ㅡbau Mark Lee.

"Mark," panggilku.

Dia tersenyum. "Hai, lagi."

Aku melihat ke sekeliling. "Kamu sendirian? Ibu dan kakakmu mana?"

"Mereka pulang soalnya dokter bilang kamu udah melewati masa kritis. Mereka heran, katanya jarang ada pasien luka tembak yang pulih secepat ini. Tapi tetep aja kamu belum boleh banyak gerak, makanya dikasih obat penenang biar tidur. Lumayan, kamu tidur empat setengah jam," jelas Mark panjang lebar.

"Terus kenapa kamu nggak ikut pulang? Kamu kan butuh istirahat juga," ujarku sambil menatap wajah lelahnya. "Mandi sana, makan yang banyak, terus tidur."

"Mana ada orang sehat malah dinasehatin orang sakit?" kelakar Mark.

"Mark, aku nggak mau kamu pingsan lagi," nada suaraku memohon. "Apalagi gara-gara aku."

Mark tertegun menatap wajahku yang muram. Tangannya bergerak mengusap punggung tanganku yang ditancapi infus. "Kalau aku yang ditembak orang, tembus dari punggung sampai dada, terus kritis tiga hari, apa kamu bisa makan atau tidur dengan tenang?"

Pertanyaan macam apa itu? Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri.
"Kamu nggak boleh ditembak orang ㅡatau kritis gara-gara apa pun. Nggak boleh. Pokoknya jangan," ujarku.

"Terus emangnya kalau kamu yang kayak gini boleh??" tukas Mark.

"Y-ya pokoknya... jangan kamu..." sahutku terbata.

Oke, pasti kedengarannya bodoh sekali rela terluka asal orang lain tidak terluka. Sulit menjelaskan semua ini tapi nyatanya aku tidak ingin Mark kenapa-kenapa. Apalagi kalau sampai dia celaka gara-gara aku. Luka tembak begini bagiku tidak seberapa sakitnya daripada melihat dia disakiti.

More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang