"Alice, ayo kita kabur dari gumpalan alay!" seruku begitu sampai lagi di kantor. "Alice?"
Aneh.
Alice tidak ada, ranselnya juga tidak kutemukan di kamarku. Ada apa ini? Apa terjadi sesuatu? Padahal aku tadi baru pergi sebentar. Tidak mungkin Alice ke lantai tiga karena itu wilayah kekuasaan Jaehyun, jadi aku berlari ke bawah sambil memanggil-manggil namanya.
"Alice! Mana sih? Alice?!"
Bletak
"AW!"
"Berisik, Porongbyun," tegur seseorang bersuara merdu di belakangku.
"Sakit tau!" aku protes sambil memegangi kepala. Menatap kesal Jaehyun yang masih memegang ponsel barunya, yang baru saja dipakai mengetuk kepalaku.
"Jangan teriak-teriak di dapur. Orang lagi pada sibuk last order, sebentar lagi kita tutup," dia berkacak pinggang.
"Alice mana?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Baru aja pulang, disusul orang tuanya. Untung aku terlalu ganteng buat dikira jadi penculik anak orang, padahal kamu pelakunya."
"Apa sihㅡ Alice itu kabur ke sini sendiri, bukan gara-gara aku," aku membela diri.
"Terserah lah. By the way, kamu emang dari mana?" tanya Jaehyun.
Pertanyaan itu mengingatkanku lagi pada kejadian barusan. Dan Seo Herin. Dan pertunangan. Huft.
"Itu... tadi..."
"Livia Byun!"
Kalimatku tidak selesai karena tiba-tiba ada suara Mark. Dari derap langkahnya seperti sedang menuruni tangga. Mataku terbelalak, membuat Jaehyun menatapku heran. Tanpa pikir panjang aku lari ke pintu belakang. Tidak ada jalan kabur yang lebih cepat selain dapur. Semua staff di dapur menatapku antara kesal dan kebingungan, tapi masa bodoh. Yang penting aku tidak mau melihat Mark Lee.
"Porongbyun! Jangan kabur!" seru Mark.
"HEH! JANGAN LARI-LARI DI DAPUR!!!"
Suara kemurkaan Jaehyun menghilang bersamaan dengan pintu belakang kubanting sampai menutup. Tanpa rencana aku berlari ke sembarang arah. Kukira Mark menyerah, tapi tidak lama sudah kudengar lagi suaranya meneriakkan namaku.
"Livia Byun! Berhenti nggak?!" ancamnya.
Aku pura-pura tidak dengar dan terus berlari. Untung sepi, jadi aku tidak dikira jambret yang sedang kabur.
"Liv! Berhenti! Kalo nggak berhenti berarti fix kamu mulai sekarang Livia Lee!"
Kakiku reflek kaku mendengar Mark bilang begitu. Sialㅡ bisa-bisanya dia mengancam dengan hal cringey semacam itu? Setelah sadar, aku mau lari lagi. Tapi terlambat, Mark sudah menangkap pergelangan tanganku.
"Lepas, Mark Lee!" tukasku.
"Nggak! Nanti kamu menghindar lagi lama kayak waktu itu!" tolak Mark. "Stop. Nggak akan aku biarin kamu menjauh lagi."
Akhirnya aku berhenti berontak. Nafas Mark terengah-engah, sama seperti aku. Bagaimana bisa dia begitu egois melarangku menjauh? Aku menatapnya nanar.
"Herin mana?" tanyaku.
"Aku suruh pulang. Terserah mau atau nggak, yang penting aku udah bilang nggak mau ikut dia," Mark menjawab dengan nada kesal.
"Apa?? Terus kalau dia ngikutin kamu gimana??"
"Terserah. Aku udah nggak peduli. Kalau pun dia liat kita sekarang, biarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fiksi Penggemar[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."