chapter 35: positive

4.2K 676 265
                                    

Jangan lupa feedback-nya ya~Thank you!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa feedback-nya ya~
Thank you!

*****







"Maaf aku belum pamit, darurat soalnya."

"Astaga, aku panik banget, tau!"

"Di sini banyak yang butuh dokter, Mark. Aku nggak sempat buka handphone sama sekali sejak sampai di sini kemarin."

"Ya udah, gimana lagi. Yang penting kamu baik-baik aja."

"Iya, aku baik-baik aja. Kamu lagi apa?"

"Di rumah. Lagi mau mandi. Kamu bisa telepon akhirnya, di sana udah aman kan?"

 "Iya, di sini aman kok tapi nggak bisa telepon lama soalnya gantian. Jangan lupa sarapan ya. Sampai ketemu tiga hari lagi, aku sayang kamu Mark."




Tahu tidak sih? Ternyata Liv itu pergi lokasi bencana tanah longsor di luar kota gara-gara hujan besar. Dia langsung dijemput untuk jadi tim dokter, tidak boleh menolak. Di sana sinyal terputus jadi Liv kesulitan menghubungi aku. Tadi malam aku mencari dia ke mana-mana. Ke peachdelight, ke rumahnya, ke rumah Alice, ke rumah sepupunya, dan akhirnya ke rumah sakit. Di sanalah aku dapat kabar kalau Liv termasuk dalam tim dokter untuk bencana longsor.

Demi Tuhan, aku sudah seperti orang gila yang berlarian ke sana ke mari. Ketika akhirnya bisa mendengar suaranya lagi besok paginya, aku benar-benar lega. Kukira aku tidak akan bisa bertemu Liv lagi. Dan tidak bisa bertemu anakku yang mungkin sekarang sedang dikandung Liv. Aku tidak mau membicarakan hal itu di telepon, kami harus bicara langsung.




Tiga hari kemudian, alias hari ini, aku mau menjemput Liv karena dia sudah selesai bertugas. Terasa sudah berabad-abad sampai akhirnya dia minta jemput. Aku rela berkendara puluhan kilometer asal bisa bertemu dia lagi secepatnya. Nah, itu dia. Walaupun tidak tidur  berhari-hari karena mencemaskan Liv, tapi mataku langsung terjaga total ketika melihat dia memakai jas putih dan melambai dengan wajah lelah. Ia berdiri di sebelah tas besar. Walau cuma pergi tiga hari, rasanya seperti tiga ratus tahun.


"Mark- hey, kamu kenapa?" dahi Liv langsung mengerut ketika melihatku keluar dari mobil.

"Kenapa apanya?" tanyaku balik.

"Kamu pucat... kayak yang sakit," dia mengusap wajahku. "Loh sayang, kamu nangis?"

Tanpa menjawab, aku memeluknya erat-erat. Air mataku bercucuran di jas dokter Liv. "Aku khawatir banget. Waktu kamu pergi kirain kabur atau diculik..."

"Kabur ke mana? Ngapain aku kabur dari kamu? Nggak mungkin," Liv terkekeh. "Diculik siapa lagi? Kamu tuh ada-ada aja. Jangan nangis dong, aku jadi mau nangis juga-"

"Ya kan kirain kamu marah gara-gara kemarin aku tinggalin... hiks- terus tau sendiri hubungan kita kan masih banyak yang nggak setuju. Aku takut- hiks- kamu diculik keluargamu terus kita nggak boleh ketemu lagi."

More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang