"Udah lama ya kamu nggak nonton Pororo."
Aku bersandar di pinggiran sofa, menelisik kepala Liv di pangkuanku ㅡberdesakan dengan Noel Leon yang gendut. Laptop dan buku-bukunya masih berantakan di seluruh living room apartemen. Jidatnya ditempeli kompresan dan lubang hidung kanan disumpal tisu saat aku baru pulang tadi. Liv bilang dia demam, jadi berhenti belajar lalu berbaring sambil nonton Pororo.
"Nggak ada waktu," sahut Liv sambil menguap.
"Tapi kan kamu sekarang udah nggak kesepian lagi, Porong Byun. Dulu kamu suka nonton Pororo karena seru temennya banyak," aku terkekeh.
"Tapi dipikir-pikir bosen juga jadi Pororo, ketemunya itu-itu lagi seumur hidup."
"Is that sarcasm? Kamu udah mulai bosen tinggal bareng aku?"
Liv berguling, menoleh ke atas. "Are you kidding? No. Not at all. This is the best thing I have ever had." Tangannya mengusap-usap rahangku.
"Dulu sebelum kita kenal kamu tinggal sama siapa sih? Sendiri?" tanyaku.
"Hm... Mostly alone. Tapi banyak pengasuh dan bodyguard. Makanya aku dulu nggak tau kalau baju bisa dicuci. Soalnya aku tinggal hidup aja, semua diurus orang lain."
"Like a princess?"
"Lebih kayak tahanan. Nggak ada kebebasan sama sekali," sahutnya jengah.
"Jadi bodyguard selusin itu udah ada dari dulu?"
"Sebagian. Banyaknya sih orang baru."
"Kamu rekrut sendiri mereka?"
"Orang berebut mau jadi bagian dari keluargaku, Mark. Walaupun cuma jadi bodyguard. Jadi nggak susah cari orang yang menawarkan diri."
"Kalau orang biasa kayak aku? Bisa juga punya bodyguard?"
"Bisa. Asal kamu mau bayar tarifnya yang super mahal. Banyak orang yang jual jasa di dark web. Tapi kamu nggak akan butuh bodyguard selama ada aku," dia menyombong.
"No, you're not bodyguard. You are body sexy~" aku menirukan suara Liv saat dia mabuk.
"Ish- jangan dibahas lagi!" sungutnya, dengan satu tangan mencabut bulu di betisku.
Tentu saja aku berteriak. "SAKIT!! Mentang-mentang nggak punya bulu kaki!"
"Ngomong-ngomong soal bulu, aku baru sadar kamu berbulu banget," kata Liv sambil mengusap-usap rahangku lagi.
"Ya normal lah, kamu tuh dokter tapi nggak ngerti anatomi manusia apa gimana?"
"Tapi jadi kayak penjahat tau," dia tertawa, menggemaskan sekali.
"Good then, masuk kriteria keluarga kamu. Penjahat," kelakarku.
Liv menatap lurus pada wajahku yang menaunginya. "I wish you were really a bad person," ucapnya lirih. "But you're too good."
Aku tersenyum sambil perlahan membungkuk. "Yeah, a good kisser, especially."
"Oh- stop," dia mendorong mukaku, lalu mengangkat kepalanya dari pangkuanku dan duduk sambil mengikat rambut. "Jangan macem-macem. Aku belum selesai revisi, nanti konsentrasinya makin buyar."
"Hah masih mau belajar lagi? Kamu kan lagi demam," ujarku. "Tidur aja yuk, sambil aku peluk pasti sebentar langsung sembuh hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."