chapter 38: run, baby, run

2.7K 350 81
                                    

"Mark... kamu tidur?"

"Not yet, why baby?"

"Dingin," ujar Liv singkat.

Aku bergeser lebih dekat padanya. "Masih mati listrik. Pemanas ruangannya mungkin cuma bisa maksimal di suhu segini. Ada selimut lagi nggak? Nanti aku ambilin. Atau kita ke apartemen aja? Kayaknya di sana nggak kena pemadaman juga."

"Malah cerewet. Diem, jangan ke mana-mana."

Kurasakan Liv menggeser kepalanya ke pundakku. Aku menoleh, dalam keremangan hanya tampak siluet hidung mancungnya.

"Bilang aja minta dipeluk," aku tertawa kecil kemudian memeluknya. "Kamu nggak tidur karena kedinginan, hm?"

"Kayaknya bukan."

"Terus? Uhm- masih sakit kah...?"

Liv menggeleng. "Bukan juga."

"Terus kenapa, Pororong?"

Sejenak dia diam menatapku. "Aku cuma tiba-tiba kepikiran, kira-kira gimana reaksi orang tuamu kalau tau anak mereka tidur sama selingkuhannya?" ujar Liv.

"Liv, kamu bukan selingkuhan," ujarku.

"Terus apa?" cetusnya. "Paling kalau orang tuamu tau, aku langsung dianggap pelacur," dia tertawa sarkastik.

"Hey, jangan bilang gitu," aku membelai pipinya.

"Tapi itu kenyataan, Mark. Ibumu terang-terangan loh waktu itu bilang aku harus jaga jarak sama kamu. Kalau dia tau kita udah sejauh apa, pasti menurutnya aku yang terus-terusan jadi perempuan jalang penggoda pacar orang."

"Then I will tell everyone that I'm the whore. Biar mereka tau aku yang terobsesi sama kamu, padahal dulu kamu alergi tapi aku nekat," kucium kening Liv. "Kalau ada yang berani ganggu kamu, aku maju paling depan. Nggak ada yang boleh jahat sama Porongku."

"Tapi menurut mereka aku yang jahat, Mark," dia menghela napas dengan gusar.

Perkataan Liv ada benarnya. Sebisa apa pun mengelak, kami sudah kepalang ada di posisi yang salah. Sialnya lagi, dunia yang sarat patriarki ini selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang lebih bersalah. Apalagi dalam kasus perselingkuhan.

"Ini salahku," ujarku setelah hening beberapa saat. "Seandainya aku nggak pengecut dan berani bilang dari awal, sebelum Herin datang, aku yakin keluargaku pasti suka sama kamu."

"Kata siapa?"

"Tau nggak mama bilang apa waktu kalian pertama ketemu? Mama tau aku suka kamu, tapi dia nggak yakin kamu mau sama aku Liv, haha."

"Ya mau lah, aku kan nggak bisa tertarik sama manusia lain mana pun. Tapi kok ibumu bilang gitu? Emang aku kenapa?" dia tampak bingung.

"Apa kamu nggak sadar, Liv? Kamu itu sempurna. Cantik, cerdas, independent, kuat, sukses, baik," dan seksi ㅡdalam hati aku menambahkan.

"Toh semua itu tetap kalah sama Herin, walaupun aku punya beberapa kelebihan yang dia nggak punya," decak Liv. "Minimal dia nggak gila dan kayak preman."

"Kamu juga kan gila sama premannya tergantung situasi. Still a princess. Darah bangsawan nggak bisa bohong," tetap kusanggah pendapat Liv.

"Itu semua nggak ada gunanya. Tetep Herin yang lebih mereka suka," nada cemburu dalam kalimat Liv sudah tak terbendung.

"Just because she came first. Lain cerita kalau kita udah punya hubungan yang jelas. Makanya, ini semua salahku," aku bersikeras.

More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang