Na Jaemin memang pantas dimusuhi. Gara-gara dia, aku sudah tidak punya harga diri di depan keluarga Lee. Well, bukan sepenuhnya salah Jaemin sih, Mark juga bodoh. Asal kalian tahu saja, dia waktu itu muntah darah karena keracunan setelah minum obat kuat dan tidak lama kemudian entah lupa atau bodoh, dia minum alkohol walaupun sedikit.
Mark langsung sehat lagi setelah muntah darah, cuma sedikit lemas ㅡdan malu. Bayangkan, dini hari di rumah sakit aku dan Mark diceramahi gara-gara obat kuat. Semua orang tentu saja mengira Mark minum obat sialan itu karena mau melakukan sesuatu denganku. Bahkan Papa Lee hampir membawa anaknya ke spesialis kelamin karena mengira organ reproduksi Mark bermasalah sungguhan sampai harus minum obat seperti itu.
Untung tidak lama kemudian Jaemin datang. Dia menjelaskan semua kebodohan ini, jadi aku dan Mark selamat ㅡbatal dibawa ke gereja untuk dinikahkan paksa hari itu juga. Tapi setelah itu kami bertiga dimarahi panjang lebar. Memang salahku juga sih, ditambah kebodohan duo alay Na Jaemin dan Mark Lee. Kami janji tidak akan main-main lagi dengan obat sialan itu.
Beberapa minggu berlalu, aku sudah mulai berani kuliah biasa ke kampus. Untung teman-temanku pengertian jadi tidak ada yang mengungkit kalau aku sakit mental. Mereka cuma bergurau kalau tanpa aku tingkat kejahatan di sekitar kampus jadi meningkat. Memangnya aku Spiderman?
Dan hari ini, akhirnya Alice Kim wisuda. Semua orang sepertinya setuju kalau raut wajahnya tidak tampak bahagia. Muka cemberut Alice tidak cocok dengan baju wisuda yang keren dan dua gelar sarjana sekaligus yang dia dapatkan hari ini. Aku dan Mark jadi ikut bingung. Harusnya ini kan hari bahagia untuknya, tapi sepertinya tidak.
"Gimana dong?" aku menyikut Mark.
Hening. Dia tidak merespon. Saat aku menoleh, ternyata sedang sibuk dengan ponselnya. Lagi.
"Ishㅡ Mark! Kamu denger nggak sih?" tukasku.
"Hah? Denger kok," Mark mengangkat wajah. "Apa?"
"Tuh kan!" desisku, kesal. "Tadi aku tanya, gimana nih Alice murung terus?"
"Nggak tahu. Dia kenapa sih? Menstruasi?" bisik Mark.
"Kayaknya nggak deh. Apa karena nilainya jelek? Nggak mungkin sih, pasti perfect."
"Hm... sebagai sesama cewek, coba deh kamu tebak. Apa yang bikin Alice murung?"
Sambil meneliti Alice yang masih berfoto dengan sepupu dan teman-teman kuliahnya, aku berpikir. Menurutku selama ini Alice itu sederhana, Mark versi cewek. Dia jarang marah, tidak ambil pusing pada hal-hal tidak penting, tidak suka cari masalah. Mungkin Alice tidak enak badan atau kelelahan.
"Hey," kudekati Alice saat dia akhirnya menepi dari keramaian.
"Liv," Alice tersenyum tipis. "Kenapa? Kamu mau pulang duluan?"
"Are you okay?" tanyaku.
"Of course I am. Emang kenapa?"
"Um... nggak apa-apa sih," aku bingung bagaimana bilangnya.
Mark menghampiri kami, membawa sebotol air mineral. Ia mengambil alih tumpukan buket bunga di pelukan Alice lalu memberikan botol minum.
"Minum dulu, biar nggak lemes," kata Mark.
Alice tertawa kecil. "Guys, aku nggak apa-apa."
"Yakin?" selidikku.
"Iya. Cuma kurang tidur aja jadi agak ngantuk," sahut Alice.
Aku bertukar pandang dengan Mark yang hanya mengangkat bahu. Alice kembali ke kerumunan, pada orang tuanya yang lebih sibuk berinteraksi dengan orang-orang karena anaknya murung terus. Kulihat setelah itu mereka sepertinya berdebat kecil, lalu tidak lama kemudian Alice menyeret langkah menghampiri kami. Aku makin yakin ada yang tidak beres.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Frenemy
Fanfiction[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do."