chapter 21: dead end [2022]

28.6K 5.4K 2.7K
                                    

Kalian pernah dengar kisah Icarus dan matahari?
Icarus dibuatkan sayap dari bulu dan lilin, tapi dia nekat terbang terlalu dekat dengan matahari. Akhirnya sayapnya meleleh, dia jatuh ke laut lalu mati tenggelam.

Icarus adalah aku, bayang-bayang tak tahu diri yang mencintai cahaya terang. Untuk pertama kalinya jatuh cinta. Kalau terlalu dekat, aku akan lenyap. Mati. Musnah. Tapi bodohnya aku tidak menyesal.

Pagi  berikutnya. Bekas luka lecet kemerahan melingkar di kedua pergelangan tanganku. Aku lagi-lagi tidak begitu ingat penyebabnya, mungkin karena terlalu bersemangat melukai diri sendiri saat kedua tanganku diikat. Hanya menggesekkan tangan sampai lecet yang bisa kulakukan. Dan aku menikmati itu.

Tapi sekarang sakit, pedih luar biasa. Suster baru selesai mengobati luka-luka di tubuhku setelah aku mandi ㅡtentunya dalam pengawasan ketat. Kepalaku terasa ringan, aku tahu ini efek obat. Belum ada yang berkunjung lagi selain Alice dan aku masih bungkam pada dokter tentang kejadian yang memicu kegilaanku.

Kota Seoul cerah di luar sana, begitu yang tampak dari jendela ruangan tempat aku dirawat tiga hari belakangan. Aku duduk menghadap jendela besar. Di belakangku Alice berdiri menyisir rambutku yang baru kering.

"Sakit nggak? Kalau disisir di sebelah sini?" tanya Alice sebelum menyisir rambutku di bagian kepala yang luka ㅡbekas benturan yang tidak kuingat.

"Nggak kok," sahutku. "Arghㅡ kepalaku agak pusing."

"Maaf, gara-gara aku terlalu kasar ya?" Alice berhenti menyisiriku.

Aku tersenyum padanya. "Kamu nggak takut?"

"Takut apa?" dia mengerjap.

"Siapa tau tiba-tiba aku lepas kendali dan jadi monster."

Kedua mata Alice menatapku sedih. "Liv... mau sampai kapan? Apa kamu nggak mau sembuh? Ayo bilang apa pemicunya, jadi kamu bisa diobati. Kamu nggak gila dan bukan monster juga. Kamu sakit."

Aku memejamkan mata dan menghela napas dalam-dalam. Alice benar, aku harus sembuh. Demi kuliahku yang terbengkalai, kucing-kucingku, Peachdelight. Sudah waktunya aku memberi tahu Alice kejadian mengerikan itu.

"Alice, Seo Herin hamil. Testpack itu punya dia. Sebelum aku pingsan di halaman Peachdelight, dia kasih tau semuanya. Sekaligus peringatan keras biar aku nggak ganggu calon keluarga kecilnya," ujarku.

Alice menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Kedua matanya membelalak tak percaya. Yah, memang sulit dipercaya.

"Aku nggak tau kenapa kejadian sepele itu bisa sampai memicu PTSD dan mungkin skizofrenia," aku terkekeh patetik.

"Liv... Oh my God..." ujar Alice. "Itu sama sekali nggak sepele. Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin?"

"Karena itu privasi Herin. Bahkan dia belum kasih tau Mark soal kehamilannya," sahutku. "Sekarang aku cuma mau menyingkir dari kehidupan mereka. Aku mau hidup tenang dan normal."

Sejenak Alice terdiam, kakinya bergerak-gerak gelisah. Dia selalu melakukan itu saat sedang berpikir.

"Tapiㅡ Liv, kamu yakin Herin hamil? Atauㅡ yakin itu anak Mark? Aku rasa Mark nggak akan seceroboh itu. Terlalu beresiko buat karirnya kalau dia punya anak di usia semuda ini," kata Alice.
"Bisa aja kan nggak sengaja karena mereka nggak main aman?" sahutku.

Alice menggeleng frustasi. "Aneh, nggak mungkin. He's madly in love with you. Head over heels."

"But had sex with another woman? And now expecting a baby??" aku mendengus.

More Than FrenemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang