Chapter 38 | Penerimaan Kembali

141 15 7
                                    

Aku dan Ka Sagara telah sampai di apartemen Dokter Fira. Kini kami berada di ruang tamu apartemen menunggu Dokter Fira datang.

Dokter Fira masih di rumah sakit tempatnya bekerja. Di sini selain kami, hanya ada wanita yang mengasuh Buntara, dan Buntara yang sedang tertidur di kamarnya.

Ka Sagara sudah lebih tenang, emosinya sudah mereda sejak kami sampai di apartemen.

"Aunty cantik!"

Aku menoleh dan melihat Buntara yang mengucek matanya dengan wajah khas bangun tidur. Aku menghampirinya dan menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Bunta udah tidurnya?" Tanyaku seraya merapihkan rambut Buntara yang sedikit berantakan.

Buntara mengangguk dan tidak lagi mengucek matanya. Dia sudah terlihat lebih segar.

"Bunta, maafin uncle ya?" Kata Ka Sagara berlutut di hadapan Buntara yang duduk di sampingku.

Aku menatapnya sendu, mata elangnya yang sudah memerah terlihat sayu menatap ke arah Buntara. Tatapannya lembut, berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika Ka Sagara pertama kali bertemu Buntara. Terlihat jelas rasa bersalah di wajahnya.

Dia mengusap air matanya yang kembali turun. Masih menatap Buntara yang belum mengeluarkan suara, hanya membalas menatapnya dengan tatapan heran.

"Uncle nangis ya? Uncle kenapa nangis?" Tanya Buntara akhirnya mengeluarkan suara.

Ka Sagara tersenyum. "Enggak, uncle enggak nangis ko. Kan uncle cowok, jadi enggak boleh cengeng."

"Kata siapa cowok enggak boleh nangis? Bunta juga cowok, tapi kalo Bunta nangis Bunda enggak pernah larang," balas Buntara. Aku hanya menyimak interaksi mereka.

"Kenapa gitu?" Tanya Ka Sagara tidak merubah tatapannya terhadap Buntara.

"Soalnya Bunda bilang cowok juga manusia. Semua makhluk hidup itu boleh nangis. Apa lagi manusia! Jadi enggak ada larangan buat cowok nangis," ucap Buntara membuatku menatapnya kagum.

Dia sangat pintar untuk umurnya yang baru menginjak 6 tahun. Dokter Fira berhasil mendidik anaknya dengan baik, meski menjadi orang tua tunggal.

Ka Sagara memeluk Buntara dan air matanya kembali membasahi pipinya. Dia terisak dalam pelukan Buntara.

Buntara mengusap lembut punggung Ka Sagara menggunakan tangannya yang kecil.

Ka Sagara melepas pelukan mereka dan kembali menatap Buntara. "Maafin uncle ya Buntara?"

Buntara mengangguk. "Iya uncle. Bunta maafin ko. Kata Bunda, kita harus saling memaafkan."

Aku lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Buntara. Tanganku terulur mengusap lembut kepala Buntara.

Klek

Suara pintu terbuka membuat kami menoleh ke arah pintu melihat siapa yang baru saja masuk.

Ka Sagara bangkit dan kembali ke tempatnya semula—di sampingku.

Dokter Fira baru saja masuk, ia masih memakai jas putih kebanggaan setiap Dokter. Dia melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu dekat pintu.

Dokter Fira menghampiri kami dan duduk di sofa single sisi kanan Buntara. Dia tersenyum seraya mengelus lembut kepala Buntara.

"Bunta udah mandi?" Tanya Dokter Fira lembut. Buntara menyambut pertanyaan Dokter Fira dengan gelengan.

"Sana mandi dulu, nanti keburu malem," perintah Dokter Fira pada Buntara. Tanpa membantah, Buntara segera berdiri ngacir masuk ke dalam kamarnya.

Aku menoleh pada Ka Sagara yang kini menatapku. Aku mengangguk dan bergantian tempat dengan Ka Sagara.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang